logo Kompas.id
β€Ί
Humanioraβ€ΊGastrokolonialisme di Merauke,...
Iklan

Gastrokolonialisme di Merauke, Dari Transmigrasi Hingga Korporasi

Ketidakberdayaan penduduk lokal untuk memenuhi asupan gizi, diperparah dengan gelontoran aneka bahan makanan instan, melengkapi derita mereka sebagai obyek dari gastrokolonialisme.

Oleh
AHMAD ARIF, SAIFUL RIJAL YUNUS
Β· 1 menit baca
Cetak sawah yang gagal dan lahan dibiarkan begitu saja di Kampung Wonorejo, Distrik Kurik, Merauke, Papua, Selasa (8/11/2022). Program pengembangan pertanian pangan berskala luas di kawasan tersebut tidak banyak menghadirkan manfaat bagi warga setempat. Tanah dan hutan sagu malah banyak yang hilang.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Cetak sawah yang gagal dan lahan dibiarkan begitu saja di Kampung Wonorejo, Distrik Kurik, Merauke, Papua, Selasa (8/11/2022). Program pengembangan pertanian pangan berskala luas di kawasan tersebut tidak banyak menghadirkan manfaat bagi warga setempat. Tanah dan hutan sagu malah banyak yang hilang.

Bentang alam yang datar, sumber air berlimpah, dan tanah subur menjadikan wilayah Merauke sejak lama dianggap memiliki potensi untuk lahan pertanian skala besar. Namun, Merauke bukanlah ruang kosong. Di sekitar hutan dan rawa-rawa itu ada masyarakat Marind Anim, yang puluhan ribu tahun hidup sebagai pemburu dan peramu bahan pangan dari alam.

Potensi Merauke dan sekitarnya sebagai kawasan pertanian, terutama dalam hal ini tanaman padi, telah banyak dilaporkan sejak Papua masih di bawah kekuasan Belanda. J.H.A Logemann (1957) dalam bukunya Orgaan Van De Stichting Kring Voor Nieuw Guinea menyebutkan, pada 1947 perwakilan enam negara Barat, yaitu Belanda, Australia, Selandia Baru, Perancis, Amerika Serikat, dan Inggris bertemu di Canberra untuk membahas rencana pengembangan daerah Pasifik Selatan. Salah satu keputusannya yaitu menyiapkan Papua, khususnya bagian selatan, sebagai pusat pertanian dan peternakan.

Editor:
ICHWAN SUSANTO
Bagikan