logo Kompas.id
Artikel OpiniMembuka Tabir Kurikulum...
Iklan

Membuka Tabir Kurikulum Merdeka

Yang lebih penting di saat krisis pembelajaran dan ”learning loss” adalah upaya penyesuaian dan menciptakan pembelajaran yang hilang, bukan menyeragamkan masalah pendidikan dengan satu aplikasi mengajar.

Oleh
IMAN ZANATUL HAERI
· 1 menit baca
Heryunanto

Menurut dokumen ”Kajian Akademik Kurikulum Pemulihan untuk Pembelajaran”, dua hal yang menjadi dasar perubahan kurikulum adalah krisis pembelajaran dan learning loss atau hilangnya kesempatan belajar selama pandemi Covid-19 (Anggraena dan kawan-kawan, 2022). Ukuran krisis pembelajaran yang dipakai Kemendikbudristek adalah skor Programme International Student Assessment (PISA) anak Indonesia yang terus menurun. Padahal, model format PISA sudah banyak dikritik berbagai kalangan pendidikan.

Pasi Sahlberg yang memperkenalkan pemikiran finnish lessons menyebut beberapa masalah PISA. Pertama, PISA memberi dampak negatif terhadap sistem sekolah. Kedua, hal itu menyebabkan penekanan untuk mengejar standar literasi-numerasi yang ditetapkan lembaga penyelenggara PISA, yaitu Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Apalagi, OECD memiliki bias ekonomi karena merupakan aliansi perusahaan yang mencari peluang ekonomi dalam dunia pendidikan (Sahlberg, 2015). Bias ekonomi ini bertujuan untuk menyeragamkan produk pendidikan sehingga mendorong standardisasi secara global. Dr Yong Zhao dari Fakultas Pendidikan di Universitas Oregon menyebut PISA sebagai pandangan monolitik terhadap dunia pendidikan (Zhao, 2019).

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan