Sejak zaman kolonial hingga setelah Indonesia merdeka, hasil perkebunan senantiasa menjanjikan nilai ekonomi tinggi. Namun, di balik itu, posisi buruh perkebunan senantiasa terpinggirkan dan rawan ditindas.

Buruh kebun menghadapi problem upah rendah, eksploitasi perempuan dan anak, serta minimnya pemenuhan hak pekerja. Mereka terjebak lingkaran kemiskinan. Beban kerja berat, tetapi harus mencari pekerjaan sampingan.

Para buruh karet di Jambi menghadapi pengurangan jam kerja, pensiun dini, hingga PHK massal. Ditambah lagi uang pesangon tak dibayarkan semestinya oleh perusahaan.

Perempuan dan anak jadi kelompok paling rentan dieksploitasi di perkebunan sawit. Sistem kerja membuat mereka terpaksa membantu suami bekerja mengutip berondolan. Para perempuan juga dipekerjakan sebagai pekerja lepas.

Di tengah kemilau bisnis sawit ternyata terselip ruang gelap dugaan perdagangan manusia. Hal itu menimpa banyak buruh sawit asal Nusa Tenggara Timur di Kalimantan Tengah.

Turunnya produktivitas kebun karet dalam enam tahun terakhir membuat pabrik karet kekurangan bahan baku. Kondisi ini berdampak pada berkurangnya daya operasional pabrik. Akibatnya, langkah efisiensi pun diterapkan.

Pembuat kebijakan seharusnya memperhatikan nasib perempuan buruh ini dan memastikan pemberian hak-hak mereka.

Serikat buruh menjadi salah satu jalan untuk memperjuangkan kesejahteraan dan hak-hak buruh perkebunan sawit. Sayangnya, untuk mewujudkan wadah solidaritas buruh itu tidaklah mudah.