Di Tengah Guyuran Hujan
Zakia menatap piring nasi di depannya dengan perasaan hampa. Sebenarnya perutnya perih karena sedari pagi tidak makan, namun lidahnya terlalu pahit untuk menerima suapan.
Zakia duduk termenung menatap sepiring nasi yang telah dingin. Matanya tertuju pada piring, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. Tak didengar suara bising di sekeliling: suara dari orang-orang mengaji untuk almarhum suaminya, suara dari orang-orang saling bicara satu sama lain, dan suara dari anak-anak yang bermain menunggu orang tuanya. Tidak satu pun suara tertangkap telinganya. Hanya satu suara yang terus berputar di kepalanya: suara adik laki-laki almarhum yang dulu mengatakan kalau nanti suaminya meninggal, rumah yang dia tinggali akan diberikan ke adik bungsu suaminya.
Rumah yang Zakia tempati memang bukan milik suaminya, tetapi milik adik laki-laki suaminya, seorang juragan kapal yang tinggal jauh di Bulukumba. Rumah itu memang diberikan untuk dia tinggali bersama suaminya; akan tetapi, begitu suaminya meninggal, rumah itu sudah direncanakan akan diberikan untuk adik bungsu suaminya.