Menguji Komitmen Capres-Cawapres Atasi ”Stunting”
Indonesia menghadapi sejumlah masalah terkait pengembangan kualitas SDM, salah satunya terkait ”stunting”.
Indonesia masih menghadapi sejumlah persoalan terkait pengembangan kualitas sumber daya manusia, salah satunya terkait tengkes (stunting). Selain mendegradasi mutu kesehatan, tengkes berpotensi besar merugikan perekonomian karena menghambat kemajuan nasional. Para pemimpin berkewajiban segera menuntaskan masalah mendasar terkait asupan gizi ini.
Cita-cita Indonesia menjadi negara maju saat menginjak usia emas pada tahun 2045 menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu hambatan terbesarnya adalah kualitas SDM pada sejumlah kelompok masyarakat yang rentan terdegradasi karena mutu kesehatan yang relatif masih rendah.
Salah satu indikasinya terlihat dari angka tengkes di Tanah Air yang tergolong masih tinggi. Kendati tren perbaikan penanganan tengkes terus membaik, masalah gizi masyarakat ini masih menjadi rintangan besar yang terus membayangi.
Kementerian Kesehatan dan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menyebutkan, prevalensi tengkes SSGI sebanyak 21,6 persen, turun 2,8 poin persen dari tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan angka tengkes dunia pun Indonesia relatif lebih baik. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, prevalensi anak usia di bawah lima tahun di seluruh dunia yang berstatus tengkes mencapai 22,3 persen di tahun yang sama.
Belum ada angka pasti mengenai prevalensi tengkes tahun 2023. Namun, pemerintah memperkirakan akan mengalami perbaikan di angka 17,8 persen. Secara lebih optimistis, pemerintah menargetkan prevalensi tengkes pada tahun ini tersisa 14 persen.
Baca juga: Tengkes 2024 di Indonesia
Harapannya, target tahun 2024 itu dapat dicapai karena realisasi penanganan tengkes pada tahun 2022 masih belum sesuai dengan kriteria yang ditetapkan secara internasional. WHO menetapkan angka prevalensi tengkes yang menjadi target global adalah di bawah 20 persen. Hal ini sebagai upaya untuk menekan kasus tengkes pada anak-anak di seluruh dunia dan mencapai Target Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs). Dalam SDGs, penuntasan tengkes menjadi target poin kedua, yakni terkait mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, dan memperbaiki gizi.
Tantangan
Tanpa menafikan kinerja pemerintah dalam mengatasi stunting, harus diakui bahwa untuk mewujudkan target tersebut tidaklah mudah. Jika mengikuti tren angka tengkes selama ini, rata-rata penurunan angka tengkes di Indonesia sekitar 2,4 persen setahun. Dengan tren tersebut, perkiraan prevalensi tengkes pada tahun ini masih berada di atas 15 persen.
Sebagai informasi, data tengkes pada tahun 2007-2018 merupakan hasil Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan Kementerian Kesehatan. Periode waktu survei berselang tiga tahun (2007-2016), kemudian per dua tahun hingga tahun 2018. Namun, sejak tahun 2019, survei dilakukan setiap tahun dengan sebutan SSGI.
Dalam pemantauan tengkes itu, ada fenomena yang patut diwaspadai. Di tengah tren penurunan jumlah penderita tengkes, ternyata terdapat salah satu kategori usia yang justru mengalami peningkatan angka tengkes, yakni pada rentang usia 12-23 bulan. Pada tahun 2022, pemerintah memperkirakan jumlah penderita tengkes pada usia tersebut sebanyak 565.479 anak balita. Namun, realisasinya justru lebih tinggi hingga mencapai 978.930 anak balita.
Fenomena itu sangat mengkhawatirkan karena pada rentang usia tersebut merupakan periode yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak balita. Banyak proses yang perlu dilalui, seperti berlatih bicara, berjalan, dan kemampuan sensorik lainnya. Dengan angka tengkes yang tinggi pada kategori usia ini, proses tumbuh kembang yang ideal berpotensi akan terhambat.
Ada sejumlah faktor yang menunjukkan angka tengkes masih tinggi di Indonesia. Salah satunya terlihat dari berat badan lahir rendah (BBLR) pada anak balita usia 6-11 bulan. Tahun 2021 angka BBLR ini mencapai 5,1 persen, tetapi pada tahun berikutnya naik menjadi 5,8 persen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak bayi yang lahir dengan berat badan di bawah 2.500 gram.
Salah satu penyebab BBLR itu adalah kurangnya gizi yang dikonsumsi oleh ibu selama masa kehamilan. Minimnya asupan gizi ini berkaitan erat dengan kondisi ekonomi rumah tangga sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil secara layak. Kemiskinan menjadi salah satu pemicu tingginya angka tengkes di Indonesia.
Baca juga: ”Stunting” Bukan Hanya Soal Gizi, melainkan Juga Pencemaran Lingkungan
Faktor lain yang juga memengaruhi tingginya angka tengkes adalah kehamilan di usia remaja sehingga calon ibu kurang memahami asupan gizi yang baik untuk calon buah hati. WHO menyebutkan, secara global kehamilan remaja pada rentang usia 15-19 tahun mencapai 21 juta setiap tahun.
Di Indonesia, pada tahun 2021, angka kelahiran pada perempuan remaja usia 15-19 tahun mencapai 20,49 per 1.000 wanita usia subur (WUS). Angka ini semakin naik pada tahun berikutnya menjadi 26,64 per 1.000 WUS. Dengan usia yang belum cukup matang, kemungkinan besar pemahaman tentang pentingnya merawat kehamilan masih sangat minim dan terbatas. Alhasil, generasi yang dilahirkan pun berisiko mengalami tengkes.
Visi misi calon pemimpin
Berkaca pada kondisi tersebut, para calon pemimpin yang tengah berlaga memperebutkan kursi kepemimpinan di negeri ini memiliki sejumlah skenario perencanaan untuk mengatasi masalah tengkes di Indonesia. Semua kandidat presiden dan wakil presiden memiliki visi-misi untuk menanggulangi ancaman kualitas kesehatan itu.
Bagi pasangan calon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, kolaborasi lintas sektor perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan pangan seimbang. Upaya ini direncanakan akan turut melibatkan semua kader dari desa/kelurahan. Dengan gagasan tersebut, pasangan calon dengan sebutan Amin ini meyakini prevalensi tengkes akan turun menjadi 11-12,5 persen pada tahun 2029. Program pendampingan ibu hamil hingga 1.000 hari pertama kehidupan anak pun hendak diwujudkan.
Sementara itu, pasangan calon Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka berencana menambahkan Kartu Anak Sehat yang dimasukkan dalam program perlindungan sosial dan kesehatan sebagai bagian dari penanggulangan tengkes. Pasangan calon ini merencanakan program gizi seimbang dan Gerakan EMAS alias Emak-Emak dan Anak-Anak Minum Susu dengan pemberian makan siang dan susu gratis. Perbaikan kualitas lingkungan seperti air bersih dan sanitasi juga menjadi salah satu fokus dalam mengatasi ancaman tengkes.
Baca juga: Pengurangan Tengkes Mesti Berkelanjutan
Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD juga berupaya memperkuat SDM unggulan Indonesia. Kandidat nomor urut 3 ini berencana memberikan dukungan layanan kesehatan dan gizi selama masa kehamilan dan menyusui. Terutama bagi 1.000 hari pertama kehidupan anak balita serta anak hingga usia lima tahun. Dengan langkah tersebut, keduanya optimistis prevalensi tengkes akan berada di bawah 9 persen dengan melibatkan peran ayah dan ibu.
Program-program yang ditawarkan oleh semua kandidat pemimpin tersebut relatif sudah sangat baik dan optimistis untuk terus menekan angka stunting di Indonesia. Namun, perlu ditekankan bahwa pemahaman tentang pentingnya asupan gizi kepada para calon orangtua juga harus ditingkatkan. Pemahaman tentang pemberian asupan gizi seimbang dan ASI eksklusif harus menjadi salah satu inti kegiatan penting dalam mengantisipasi tengkes. Jadi, tidak sebatas pemberian bantuan program semata.
Melihat besarnya cita-cita Indonesia menuju negara maju, peningkatan kualitas SDM adalah sebuah keniscayaan yang harus tersedia di negeri ini. Perbaikan mutu generasi penerus bangsa sejak hari pertama kehidupannya perlu terus ditingkatkan. Dengan gizi yang baik, akan dihasilkan generasi bermutu yang dapat mendorong peradaban bangsa yang lebih maju dan kompetitif di kancah global.
Dalam Debat Kelima Pemilu Presiden 2024 yang akan datang, para capres dan cawapres diharapkan mampu menjabarkan langkah riil mereka dalam mengatasi tengkes di Indonesia. Jadi, masyarakat dapat mengetahui dan menilai semangat para calon pemimpin dalam upayanya membangun kualitas SDM unggulan di masa mendatang yang terbebas dari tengkes. (LITBANG KOMPAS)