Publik Menolak Kampanye Hitam
Publik menolak kampanye hitam. Para kontestan dituntut mempertimbangkan kepentingan publik dan kedewasaan demokrasi.
Berkaca pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan pada 20-23 November 2023, tergambar penolakan publik terhadap kampanye hitam yang dipraktikkan menjelang pemilu.
Kampanye hitam adalah bentuk kampanye yang dilakukan oleh suatu pihak untuk menyerang lawannya dengan meniup isu bohong atau informasi yang sengaja diedarkan tidak berdasarkan fakta.
Sebagian besar responden (86 persen) memberikan reaksi negatif terhadap praktik kampanye hitam. Angka tersebut terdiri dari 54,9 persen responden yang menyatakan tidak setuju dan 31 persen yang menjawab sangat tidak setuju dengan kampanye hitam.
Tak hanya menunjukkan ketidaksetujuan, tingkat kekhawatiran publik terhadap rusaknya proses politik menuju Pemilu 2024 akibat praktik kampanye hitam pun terbilang tinggi.
Sebagian besar responden (86 persen) memberikan reaksi negatif terhadap praktik kampanye hitam.
Sebanyak 60,6 persen responden mengaku khawatir terhadap hal tersebut. Bahkan, terdapat 27,2 persen responden yang menyatakan sangat khawatir kampanye hitam akan merusak jalannya proses politik menuju Pemilu 2024.
Tingginya reaksi negatif dan kekhawatiran publik terhadap kampanye hitam dalam proses menuju pemilu sejalan dengan apa yang dirumuskan Bawaslu.
Tatkala meluncurkan analisisnya dalam Indeks Kerawanan Pemilu 2024, Bawaslu mengungkap potensi kerawanan kampanye melalui media sosial bermuatan ujaran kebencian di tingkat provinsi mencapai angka 50 persen.
Selain ujaran kebencian, sebanyak 30 persen potensi kerawanan di tingkat provinsi berupa kampanye bermuatan berita bohong (hoaks) dan 20 persen lainnya berupa kampanye bermuatan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Baca juga: Medsos Menyimpan Potensi Kerawanan Pemilu
Provokasi
Berbicara tentang benak publik saat berhadapan dengan kampanye hitam, provokasi menjadi kata kunci utama yang mewarnai.
Kampanye untuk melakukan provokasi menjadi hal yang terlintas dalam benak 27,9 persen responden tatkala mendengar kata kampanye hitam. Dengan kata lain, publik menilai motif utama dalam kampanye hitam menyasar titik emosional pemilih.
Berikutnya, sebanyak 19,4 persen responden merespons frasa kampanye hitam dengan melekatkannya pada nilai-nilai moralitas. Dalam proporsi ini, kampanye hitam dilekatkan dengan praktik kampanye yang tidak baik.
Artinya, publik menunjuk pada sikap paling dasar pelaku politik yang semestinya menjunjung moralitas, yakni nilai-nilai kebaikan, termasuk dalam berkampanye.
Masih berkaitan dengan nilai moralitas, publik juga menilai sikap tidak terpuji dalam kampanye hitam dihubungkan dengan cara kampanye yang menjelek-jelekkan lawan politik. Praktik menjatuhkan lawan itu menjadi top of mind bagi 18,5 persen responden ketika mendengar frasa kampanye hitam.
Namun, jika melihat lebih dalam, sejatinya model kampanye yang bertujuan menjatuhkan lawan tak selalu dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam. Dengan indikator dan data yang akurat, upaya menunjukkan sisi lemah lawan politik wajar dilakukan untuk menarik basis pendukung dari kubu lawan. Hal ini biasa disebut sebagai kampanye negatif.
Misalnya, saat menghadapi seorang calon yang pernah menjadi pejabat eksekutif, sang penantang dapat menggunakan indikator pelayanan publik dan masalah-masalah yang tak terselesaikan berbasis data.
Meski demikian, perbedaan kampanye negatif dan kampanye hitam sangat tipis, terutama dalam narasi yang diproduksi secara masif di media sosial. Landasan data yang valid menjadi indikator penting untuk memilahnya.
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Usman Kansong menyatakan bahwa kampanye hitam semakin banyak beredar.
Di sisi lain, kampanye hitam tidak selalu mudah dibedakan dengan kampanye negatif sehingga perlu penyaringan yang berlapis (Kompas, 10/12/2023). Hal ini mau tidak mau menjadi tantangan bagi Bawaslu untuk menjaga agar kampanye hitam tidak terus diproduksi secara masif.
Baca juga: Melawan Politik Uang, Perkuat Pengawasan Partisipatif
Terbelah
Sulitnya membedakan dan menarik garis tegas antara kampanye hitam dan kampanye negatif seakan diamini oleh publik. Publik menunjukkan keterbelahan tatkala menjawab pertanyaan sama atau bedakah antara kampanye hitam dan kampanye negatif.
Kembali pada hasil jajak pendapat, pada kutub pertama, sebanyak 49,3 persen responden membedakan di antara dua model tersebut. Di kutub yang lain, tak kurang dari 44,4 persen responden menyamakan antara kampanye negatif dan kampanye hitam.
Rumitnya membedakan di antara dua model kampanye ini diperkeruh narasi yang berkembang di media sosial. Sebuah narasi yang awalnya dibangun untuk menunjukkan kelemahan seorang calon berbasis data dapat kemudian dipelintir di media sosial. Belum lagi pendengung (buzzer) yang membumbui narasi banyak yang berlindung di balik anonimitas.
Akan tetapi, publik menantang para kandidat untuk lebih beretika dalam berkampanye menjelang Pemilu 2024. Pasalnya, praktik kampanye hitam yang memuakkan publik berpotensi menjadi bumerang bagi tiap kandidat.
Upaya menjatuhkan lawan politik tanpa didukung bukti yang kuat berpotensi menjadi salah satu pertimbangan pemilih dalam menegaskan preferensi politiknya.
Masih dari hasil jajak pendapat, tak kurang dari 48,7 persen responden menyatakan secara tegas tidak akan mendukung lagi calon yang melakukan kampanye dengan cara menjatuhkan lawan tanpa alasan yang kuat. Sementara itu, ada 27,3 persen responden yang mengaku ragu-ragu untuk tetap memilih kandidat yang melakukan hal tersebut.
Hanya ada 19,8 persen responden yang tetap mendukung calon yang akan dipilih meski upaya sosialisasi politik dilakukan dengan menjatuhkan lawan tanpa alasan yang kuat.
Proporsi ini menunjukkan risiko bagi calon sendiri bahwa kampanye hitam yang awalnya dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan keuntungan elektoral malah akan berakhir pada tergerusnya potensi elektoral yang sudah berada di tangan.
Dalam mengategorikan kampanye hitam, Bawaslu sudah secara jelas merumuskan setidaknya empat model kampanye hitam belajar dari Pemilu 2019.
Pidato politik yang mengarah pada politisasi suku, agama dan ras; ceramah provokatif di tempat ibadah atau acara keagamaan; spanduk yang mengandung konten SARA; serta ujaran kebencian di media sosial oleh akun anonim menjadi modus-modus kampanye hitam.
Dari keempat modus tersebut, ujaran kebencian di medsos oleh akun anonim menjadi hal yang dinilai publik paling membahayakan proses politik. Tak kurang dari 39,3 mengamini hal tersebut. Berikutnya ceramah provokatif dalam konteks keagamaan menjadi hal yang dinilai paling membahayakan oleh 29,1 persen responden.
Jengahnya publik atas kampanye hitam menjadi hal yang semestinya menjadi lampu merah bagi para kandidat untuk mengambil keuntungan politik dengan cara tersebut. Selain itu, hukum pidana juga sudah menanti jika memang cara tak terpuji ini masih akan dilanjutkan.
Lebih lagi, kepentingan publik dan kedewasaan demokrasi menjadi hal yang tak pantas dikorbankan sesaat dengan menghalalkan kampanye hitam sebagai langkah politik. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kampanyekan Kelebihan Capres Pilihan, Bukan Serang Capres Lawan