Tim Anies-Muhaimin dan Tim Ganjar-Mahfud Bersatu Bela Butet
Kepolisian dinilai tidak seharusnya memproses laporan terhadap seniman Butet Kartaredjasa tanpa kuasa dari Jokowi.
JAKARTA, KOMPAS - Tim hukum pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, bersepakat memberikan bantuan hukum kepada seniman Butet Kartaredjasa, yang kini tengah dilaporkan ke kepolisian atas kasus dugaan penghinaan kepada Presiden Joko Widodo. Bersatunya dua tim hukum kandidat ini disebut bukan sekadar perkara nomor urut pasangan calon, melainkan ingin menunjukkan adanya kesamaan dari dua tim terkait pentingnya melindungi kebebasan berpendapat warga negara.
Direktur Penegakan Hukum dan Advokasi Tim Hukum Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Ifdhal Kasim, dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu (4/2/2024), mengatakan, kini Kepolisian Daerah DI Yogyakarta telah bergerak cepat menindaklanjuti kasus Butet. Beberapa saksi sudah dipanggil oleh polisi. Setelah mendengarkan keterangan saksi-saksi itu, kepolisian baru akan memanggil Butet.
Melihat hal itu, TPN Ganjar-Mahfud dan Tim Pemenangan Nasional (Timnas) Anies-Muhaimin memiliki kesamaan pandangan untuk bersama-sama mendampingi Butet apabila dipanggil polisi.
”Kenapa kami bersama-sama? Karena ini isunya menyangkut mengenai kebebasan, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat yang merupakan kepentingan semua orang, bukan hanya satu golongan, bukan hanya satu kelompok, tetapi ini lintas. Nah, karena melihat arti penting dari kasus ini, karena ada kesamaan pendapat ini, kami bersama-sama akan mendampingi Mas Butet apabila nanti akan dipanggil oleh kepolisian DI Yogyakarta,” ujar Ifdhal.
Baca juga: Dianggap Menghina Jokowi Saat Berpantun, Butet Kartaredjasa Dilaporkan ke Polisi
Sebelumnya, sejumlah elemen sukarelawan pendukung Presiden Jokowi di DI Yogyakarta melaporkan Butet ke kepolisian. Butet diduga menghina Jokowi dengan kata-kata kasar saat membawakan pantun dalam kampanye Ganjar-Mahfud, di Wates, Kabupaten Kulon Progo, Minggu (28/1/2024).
Kenapa kami bersama-sama? Karena ini isunya menyangkut mengenai kebebasan, kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat yang merupakan kepentingan semua orang,
Ifdhal melanjutkan, Butet bukan hanya kali ini mendapat laporan polisi, tetapi Butet juga pernah mendapat laporan polisi di Jakarta terkait dengan pernyataannya pada saat pementasan teater beberapa bulan lalu. Butet kala itu mengaku, menit-menit menjelang pementasan, terpaksa menandatangani surat pernyataan yang salah satu butirnya ialah berkomitmen untuk tidak berbicara soal politik dalam pementasannya.
Menurut Ifdhal, ancaman terhadap demokrasi saat ini sudah makin mengkhawatirkan. Karena itu, kedua tim hukum paslon memiliki perhatian sama agar kebebasan berekspresi dan berpendapat warga jangan sampai terbelenggu, sebagaimana dialami oleh Butet.
”Saya menegaskan lagi bahwa karena ini kepentingan bersama, concern bersama, karena itu kami melepaskan baju politiknya. Mas Butet ini menjadi semacam martir bagi ancaman demokrasi sekarang. Karena itulah kami bersama-sama,” tegas Ifdhal.
Wakil Deputi Hukum TPN Henry Yosodiningrat, menambahkan, kepolisian seharusnya tidak memproses laporan tanpa ada kuasa dari Presiden Jokowi. Jika laporan diteruskan, justru menimbulkan spekulasi terhadap keberpihakan aparat ataupun perintah dari Presiden Jokowi untuk memproses kasus tersebut. Keberpihakan tersebut bukan hanya merugikan tim dari pasangan capres-cawapres, tetap merugikan kepentingan bangsa yang harusnya melindungi kebebasan berpendapat.
Lebih jauh, ia pernah melaporkan dugaan pencemaran nama baik Presiden Jokowi yang dilakukan Rocky Gerung ke Bareskrim Polri. Namun, laporan itu tidak dilanjutkan karena tak adanya kuasa dari Jokowi. ”Tapi itu kan Jokowi dulu. Jokowi hari ini berbeda,” tuturnya.
Ketua Tim Hukum Nasional Timnas Anies-Muhaimin, Ari Yusuf Amir, menilai, pengaduan terhadap Butet bukan hanya masalah tim Ganjar-Mahfud ataupun Anies-Muhaimin. Laporan tersebut merupakan masalah bangsa dan kenegaraan karena kebebasan berekspresi serta kebebasan berpendapat warga negara sedang dalam masalah.
Menurut dia, laporan terhadap seniman dan aktivis merupakan bentuk tekanan kepada masyarakat. Jika hal itu didiamkan, bisa menjadi momok bagi bangsa karena bisa terjadi pada siapa pun. Oleh karena itu, pihaknya akan merasa perlu memberikan pendampingan hukum kepada Butet.
”Ini bukan kepentingannya (nomor urut) 3 saja, tetapi kepentingan kami juga, karena kami memperjuangkan hal yang sama. Kami memperjuangkan penegakan hukum yang berkeadilan. Kami memperjuangkan demokrasi yang betul-betul bermartabat sehingga peristiwa-peristiwa seperti ini juga menjadi kerisauan bagi kami,” ujarnya.
Keganjilan dalam jagat demokrasi
Butet Kartaredjasa juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dari tim hukum paslon nomor urut 1 dan 3 yang telah bersedia mengawal kasusnya. ”Ini pendekar-pendekar hukum 'turun gunung'. Bang Todung Mulya Lubis (Deputi Hukum TPN) juga sudah menelepon saya, nanti akan mendampingi. Jadi, tambah kuat untuk memperhatikan apa yang terjadi pada saya,” ujarnya.
Pada prinsipnya, Butet menegaskan bahwa ia selalu berpedoman pada hak dasar dalam berpendapat dan berekspresi. Semua itu telah dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Sampai pertengahan Oktober 2023 kemarin, semua orang, menurut dia, masih bebas untuk mengartikulasikan pikiran-pikiran apa pun.
Namun, setelah pertengahan Oktober 2023, secara terang benderang, Mahkamah Konstitusi justru dijadikan ”mainan”, dan berlanjut sampai hari ini ia melihat betapa banyak keganjilan di dalam jagat demokrasi.
”Pertunjukan saya di awal Desember mendapatkan intimidasi di mana saya harus menandatangani blangko dari kepolisian, yang salah satunya berbunyi, saya harus berkomitmen untuk tidak bicara politik. Itu awal atas pertunjukan saya. Nah, tentu saja saya harus mengabarkan kepada publik, ini gejala-gejala awal yang tidak sehat dalam konteks kebebasan berpendapat,” tutur Butet.
Kemudian, pada 28 Januari, ia membaca pantun dan ternyata ada yang mengadukan dari peristiwa tersebut dengan berbagai macam tuduhan. Ia tak mempersoalkan itu karena ia merasa selama ini masih tetap berpedoman pada hak dasarnya sebagai warga bangsa yang dilindungi UUD 1945 untuk bebas berpendapat, bebas berekspresi, serta bebas mengartikulasikan pikiran-pikiran saya.
”Nah, nanti di pengadilan diuji, para ahli hukum inilah yang akan meninjau dari aspek hukum pada saksi-saksi ahli dalam berbahasa, bagaimana bahasa itu diucapkan dengan diksi-diksi tertentu itu, maknanya bisa berbeda-beda. Jadi saya bukan ahlinya soal itu,” tegas Butet.