Presiden Diminta Ingatkan Aparat Tak Gunakan Cara-cara Antidemokrasi
Sekjen PDI-P Hasto berharap Presiden Jokowi meminta aparat untuk tidak menggunakan cara-cara yang tak demokratis.
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan bendera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, saat Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja ke provinsi itu berbuntut panjang. PDI-P menganggap peristiwa itu sebagai salah satu bentuk ketidakadilan yang diterima PDI-P. Karena itu, Presiden Jokowi diharapkan dapat mengingatkan aparatnya agar tidak menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan demokrasi.
Harapan itu disampaikan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (1/2/2024). Hasto mengharapkan Presiden dapat menunjukkan keteladanan dan meminta aparat agar tidak menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan demokrasi. ”Kami mengharapkan, mohon, mohon, dan mohon,” ujar Hasto.
Pada kesempatan itu, Hasto juga mengajak agar dalam sisa 13 hari sebelum pelaksanaan Pemilu 2024, kesempatan kampanye yang tersisa dilakukan dengan cara yang mendidik dan gembira. Dia berharap kampanye tidak dilakukan dengan cara-cara yang intimidatif kepada siapa pun.
”Kami imbau, mari kita wujudkan kampanye yang gembira, mendidik, mencerdaskan dan berkeadaban,” kata Hasto.
PDI-P menggelar jumpa pers salah satunya untuk menanggapi penurunan bendera PDI-P di DI Yogyakarta. Dalam jumpa pers itu, Hasto memperdengarkan rekaman keterangan Ketua DPC PDI-P Gunungkidul Endah Subekti mengenai kronologi penurunan bendera partai.
Endah mengungkapkan, sehari sebelum Presiden tiba, dia didatangi aparat yang meminta agar menurunkan bendera PDI-P, khususnya yang terpasang di sepanjang jalan yang akan dilewati Presiden. Penurunan bendera disebut sebagai bagian dari protap atau prosedur tetap. Namun, permintaan itu ditolak.
Kami imbau, mari kita wujudkan kampanye yang gembira, mendidik, mencerdaskan, dan berkeadaban.
Hasto mengatakan, penurunan bendera PDI-P oleh aparat sudah beberapa kali terjadi. Tidak hanya di DI Yogyakarta, tetapi juga sejumlah daerah lainnya. Namun, selama ini para pengurus dan kader PDI-P berupaya bersikap sabar.
”Tetapi, ketika ini sudah berkaitan dengan struktur kami di tingkat yang paling bawah, mereka sudah mengatakan untuk membela bendera PDI Perjuangan yang sudah dikibarkan, dengan penuh militansi menjaga bendera itu karena itu simbol kedaulatan partai. Kami menunggu tanggapan, terlebih dahulu kami menunggu tanggapan terhadap rakyat yang telah menjadi korban akibat tindak kekerasan yang tidak perlu akibat Bapak Jokowi yang berpihak,” kata Hasto.
Menurut Hasto, peristiwa tersebut menunjukkan perlakuan yang tidak adil sekaligus melengkapi berbagai peristiwa serupa. Di antaranya pengeroyokan terhadap mantan loyalis Jokowi, Muhandi Mawanto, pada 24 Desember 2023 di Sleman; peristiwa persekusi dari aparat militer terhadap dua pemuda, Slamet dan Arif, di Boyolali; hingga pada 30 Januari 2024 kemarin terjadi perampasan spanduk ucapan selamat datang dan dukungan kepada pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD di Gunungkidul.
Terhadap peristiwa itu, Hasto menyesalkan karena hingga saat ini Presiden Jokowi belum bersikap. ”Indonesia sepertinya dikerdilkan, hanya urusan Jawa Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakarta, Kampung. Indonesia ini sepertinya hanya urusan elektoral, padahal Indonesia itu dari Sabang sampai Merauke sehingga Presiden itu seharusnya bertanggung jawab melindungi seluruh rakyat dan segenap bangsa Indonesia,” ujar Hasto.
Bagi Hasto, keberpihakan semacam itu membuat pelaksanaan pemilu tidak berjalan secara adil. Keberpihakan itu dikhawatirkan akan membuat demokrasi mengalami kemunduran. Demokrasi yang berjalan adalah demokrasi yang semu.
Presiden, menurut Hasto, semestinya menunjukkan komitmen untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara dibandingkan dengan kepentingan keluarganya. Karena itu, PDI-P menanti respons Presiden atas peristiwa tersebut.
”Bukti-bukti, mobil-mobil yang sepertinya suasana mau perang, itu ada semuanya, sehingga kami tunggu sikap dari beliau (Presiden),” ujarnya.
Hasto mengingatkan, peristiwa tersebut akan menimbulkan reaksi dari rakyat. Saat ini saja sudah muncul sentimen negatif dari rakyat, di antaranya dari kelompok akademisi dan seniman. Sebaliknya, peristiwa itu justru membuat sentimen positif terhadap pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, semakin naik.
”Semakin banyak kekuasaan yang dipakai untuk menyakiti rakyat, semakin tinggi sentimen positif bagi Ganjar-Mahfud. Jadi, situasi sekarang terbalik akibat penggunaan kekuasaan yang berlebihan dan berhadapan dengan rakyat itu sendiri,” kata Hasto.
Sebelumnya, Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana, di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (31/1/2024), menegaskan tidak ada kebijakan yang membatasi interaksi masyarakat dengan Presiden Joko Widodo. Karena itu, kekerasan yang terjadi kepada salah seorang warga yang membawa spanduk dukungan kepada Ganjar Pranowo, dinilai Ari, bukan terjadi karena Presiden merasa terganggu dan berlaku tak adil.
”Walaupun ada teriakan (mendukung) paslon atau upaya untuk memobilisasi di pinggir jalan, meneriakkan (nama) paslon dengan setting-an tertentu, saya kira Presiden sama sekali tidak terganggu,” ujar Ari kepada wartawan.