KY Ikut Awasi Peradilan Pemilu dan Pilkada
Komisi Yudisial akan ikut mengawasi peradilan pemilu untuk menjaga kualitas hasil pemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Kekhawatiran bahwa pelanggaran akan semakin masif terjadi di Pemilu 2024 ini direspons Komisi Yudisial dengan membuat pengawasan khusus terhadap proses peradilan terkait dengan pemilihan umum nasional dan pemilihan kepala daerah. Pengawasan tersebut diharapkan ikut menjaga integritas pemilu sehingga hasilnya mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
Ketua Komisi Yudisial Amzulian Rifai dalam acara penandatanganan ”Deklarasi Pengawasan Persidangan Pemilu dan Pilkada untuk Peradilan yang Jujur dan Adil” di Jakarta, Rabu (17/1/2024), mengatakan, seluruh pihak memiliki komitmen dan misi yang sama untuk memastikan terjaganya integritas pemilu. Pesta demokrasi itu pun seharusnya mendapat kepercayaan dari publik.
Oleh karena itu, Komisi Yudisial yang mendapatkan mandat dari konstitusi untuk menjaga keluhuran, harkat, dan martabat hakim perlu memastikan bahwa proses persidangan mencerminkan tiga hal, yaitu integritas, keadilan, dan transparansi.
”Komisi Yudisial tidak mungkin bekerja sendiri dalam mengawasi peradilan pemilu ini. Kami harus bekerja sama karena pemilu di negara ini mungkin salah satu yang terbesar di dunia dan kompleks dalam pelaksanaannya. Maka, suksesnya itu memerlukan kontribusi dari kami semuanya,” ujar Amzulian.
Baca juga: Mahfud MD: Yudikatif Harus Berbenah
Deklarasi itu dihadiri juga oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy’ari, Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, perwakilan dari Kementerian Pemuda dan Olahraga, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Ia menjelaskan, idealnya, proses persidangan selama pemilu mencerminkan integritas atau yang merujuk pada sifat kejujuran, ketidakberpihakan, dan konsistensi moral. Kedua, prinsip keadilan yang mengacu pada prinsip yang memastikan bahwa proses hukum dan keputusan yang diambil selama persidangan tidak diskriminatif dan adil bagi semua pihak. Ketiga, prinsip transparansi yang merujuk pada prinsip-prinsip yang menjamin keterbukaan dan akses publik terhadap seluruh tahapan proses dan keputusan yang terkait dengan penanganan sengketa pemilu.
Amzulian menyadari bahwa kepercayaan terhadap proses peradilan masih belum seperti yang diharapkan oleh publik. Legitimasi proses demokrasi juga akan banyak diuji melalui proses peradilan. Padahal, pemilu dan pilkada yang akan dilangsungkan secara serentak di Indonesia sangat besar dengan total jumlah daftar pemilih tetap (DPT) mencapai 204 juta pemilih. Tentu akan banyak persidangan perkara yang muncul dalam proses tersebut.
”Persidangan ini tentu menjadi arena di mana sengketa tersebut diselesaikan secara hukum. Agar proses persidangan berjalan dengan baik, maka perlu adanya pengawasan dengan memantau persidangan,” ujarnya.
Agar proses persidangan berjalan dengan baik, maka perlu adanya pengawasan dengan memantau persidangan.
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menambahkan, ada beberapa permasalahan yang sampai saat ini menjadi perhatian Bawaslu. Salah satunya adalah putusan peserta DPD mantan narapidana korupsi yang diloloskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Menurut aturan, sebenarnya hal itu tidak bisa. Oleh karena itu, Bawaslu memohon agar putusan itu menjadi perhatian KY.
”Dengan adanya nota kesepahaman ini, kami yakin teman-teman KY akan melakukan fungsi-fungsi pengawasan terhadap hakim yang sekarang mengurusi proses-proses dalam sengketa pemilu dan juga pengadilan pidana pemilu,” katanya.
Menurut Bagja, ada dua kewenangan penting KY, yaitu mengawasi peradilan administrasi pemilu dan peradilan pidana pemilu. Pelaksanaan putusan-putusan pengadilan terkait pemilu, baik administrasi maupun pidana pemilu, juga beririsan antara Bawaslu dan kewenangan KY.
Kewenangan dikontrol
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menambahkan, dalam konteks kepemiluan, posisi KPU selalu menjadi termohon. Misalnya, dalam sengketa proses pemilu, orang melapor ke Bawaslu dan menjadi termohon. KPU juga bisa menjadi tergugat di PTUN atau Mahkamah Agung. Bahkan, saat sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi, KPU juga akan menjadi termohon. Hal itu terjadi lantaran kewenangan KPU begitu besar mulai dari menetapkan daftar pemilih hingga menetapkan hasil pemilu.
”Kewenangan yang besar harus dikontrol baik dari pengendalian internal maupun eksternal. Salah satu instrumen pengawasan eksternal itu adalah pengadilan,” ungkap Hasyim.
Peneliti Perludem, Fadli Ramadhanil, berharap, KY bisa lebih berperan pascainisiatif awal kementerian lembaga yang berkoordinasi dengan masyarakat sipil itu. Ia mengapresiasi langkah awal itu. Namun, hal itu tidak cukup berhenti sampai di situ. Wujud komitmen harus ditunjukkan dengan bagaimana mengawasi peradilan dilakukan dengan maksimal.
Misalnya, dalam kasus putusan PTUN Jakarta yang meloloskan Irman Gusman itu sebenarnya keliru. Hal itu seharusnya menjadi sinyalemen mengapa hal itu bisa terjadi, padahal sudah ada putusan Bawaslu. PTUN tiba-tiba memerintahkan untuk dimasukkan ke dalam daftar calon tetap (DCT), padahal belum memenuhi syarat calon. Pada akhirnya KPU tidak mau menindaklanjuti putusan tersebut.
Baca juga: Sidang Sengketa Pemilu
”Yang muncul pada akhirnya bukan pembelajaran hukum yang baik. Pengadilan memutus tidak mau ditindaklanjuti oleh KPU, ini tidak baik sebenarnya. Tapi, kalau peradilannya hati-hati dalam melihat satu perkara dasar hukum dan konteks perkaranya seperti apa itu seharusnya bisa dioptimalkan,” tuturnya.
Menurut dia, seharusnya hakim yang menangani perkara Irman Gusman itu diperiksa, sebab terbukti telah membelokkan perkara secara terang benderang karena orang yang tidak memenuhi syarat diminta menjadi calon. Ia juga menyoroti soal belum adanya kesamaan persepsi antarhakim dalam menangani perkara pidana pemilu. Sejumlah hakim sudah cukup progresif dalam menangani tindak pidana pemilu. Misalnya, ada hakim yang bisa memaknai kampanye di luar jadwal itu sebagai kampanye di luar jadwal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan demikian, daya jangkau terhadap pelanggaran pidana pemilu semakin luas.
”Yang paling susah itu adalah ketika politik uang itu melibatkan tim kampanye atau orang-orang yang tidak tercatat sebagai tim kampanye. Ada pengadilan yang melihat orang sebagai tim kampanye tercatat tidak secara resmi di KPU, tapi ada juga yang berpandangan sepanjang bekerja untuk seseorang peserta pemilu, dia bagian dari peserta pemilu. Ini penting untuk memenuhi syarat seseorang memenuhi subyek hukum,” paparnya.