LADK Belum Sesuai Ketentuan, KPU Tak Jatuhi Sanksi PSI, Gelora, dan PPP
Pemilih yang bisa memberikan sanksi sosial ke parpol yang tidak tertib dan transparan dalam melaporkan dana kampanye.
JAKARTA, KOMPAS — Laporan awal dana kampanye perbaikan 18 partai politik peserta Pemilu 2024 dinilai belum mencerminkan kondisi riil di lapangan. Bahkan, masih ada tiga parpol yang status penerimaan LADK perbaikan dinyatakan tidak lengkap dan atau belum sesuai ketentuan. Situasi ini menunjukkan laporan dana kampanye masih menjadi formalitas sehingga parpol tidak mempersiapkan manajemen pelaporan.
Berdasarkan data laporan awal dana kampanye (LADK) perbaikan yang disampaikan Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebanyak 18 parpol peserta Pemilu 2024 telah menyampaikan LADK perbaikan. Sebanyak lima parpol mengubah total penerimaan dan pengeluaran yang dilaporkan. Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menambah total penerimaan dan pengeluaran, Partai Golkar mengurangi total penerimaan dan pengeluaran, Partai Keadilan Sejahtera menambah total pengeluaran, serta Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengurangi total pemasukan.
Hasil pencermatan terhadap kelengkapan dokumen dan cakupan informasi LADK perbaikan, masih ada tiga parpol yang status penerimaannya dinyatakan belum lengkap dan atau belum sesuai ketentuan. Status penerimaan LADK perbaikan PSI dinyatakan belum lengkap dan belum sesuai, sedangkan Partai Gelombang Rakyat dan PPP sudah lengkap, tetapi belum sesuai ketentuan. Adapun saat penyampaian LADK, tidak ada satu pun LADK dari 18 parpol yang status penerimaannya dinyatakan lengkap dan sesuai ketentuan.
Anggota KPU, Idham Holik, mengatakan, KPU tidak akan memberikan sanksi kepada PSI, Gelora, dan PPP yang status penerimaan LADK belum lengkap dan atau belum sesuai. Sebab pada dasarnya, ketiga parpol telah menyampaikan LADK meskipun data yang disampaikan ada yang belum lengkap dan belum sesuai. Ketiga parpol juga tidak perlu menyampaikan perbaikan LADK lagi dan bisa mempersiapkan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) serta laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye (LPPDK).
Baca juga: LADK Perbaikan PSI Diserahkan, tetapi Masih Tetap Belum Lengkap dan Belum Sesuai
”Sanksi pembatalan kepesertaan pemilu diberikan apabila partai politik tidak menyerahkan LADK. Sementara PSI, Gelora, dan PPP sudah menyerahkan LADK,” ujarnya dihubungi dari Jakarta, Senin (15/1/2024).
Sesuai Peraturan KPU Nomor 18 Tahun 2023 tentang Dana Kampanye Pemilu, LADK yang diserahkan ke KPU memuat enam jenis informasi, yakni rekening khusus dana kampanye (RKDK), saldo awal RKDK, dan saldo awal pembukuan yang merupakan sisa saldo hasil penerimaan sumbangan dan pengeluaran untuk kegiatan kampanye apabila diterima sebelum periode pembukuan. Selain itu, catatan penerimaan dan pengeluaran parpol, termasuk sebelum pembukaan RKDK, nomor pokok wajib pajak tiap-tiap parpol, serta bukti penerimaan dan pengeluaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Ada tujuh formulir yang harus disampaikan saat menyerahkan LADK, yakni formulir LADK, formulir daftar penerimaan sumbangan dana kampanye, formulir laporan aktivitas penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, dan formulir daftar persediaan barang dana kampanye. Selanjutnya, laporan aktivitas penerimaan dan pengeluaran dana kampanye sebelum periode pembukuan LADK, formulir LADK caleg, dan formulir surat pernyataan tanggung jawab atas LADK.
Formalitas
Data penerimaan LADK perbaikan 18 parpol yang dirilis KPU menunjukkan, ada tiga parpol yang melaporkan penerimaan kurang dari Rp 1 miliar (PKN, PBB, dan Ummat) serta delapan parpol melaporkan penerimaan antara Rp 1 miliar hingga Rp 10 miliar (PKB, Gerindra, Nasdem, Partai Buruh, Gelora, Hanura, Garuda, dan Demokrat). Sementara tujuh parpol melaporkan penerimaan lebih dari Rp 10 miliar, yakni PDI-P, Golkar, PKS, PAN, PSI, Perindo, dan PPP.
Baca juga: LADK 18 Parpol Belum Lengkap, PSI Laporkan Pengeluaran Kampanye Rp 180.000
Adapun data pengeluaran LADK yang dilaporkan ke KPU menunjukkan, lima parpol melaporkan pengeluaran dana kampanye kurang dari Rp 1 miliar (PKB, PKN, Hanura, PBB, dan Ummat), sembilan parpol melaporkan pengeluaran antara Rp 1 miliar dan Rp 10 miliar (Gerindra, Golkar, Nasdem, Partai Buruh, Gelora, PKS, Garuda, Demokrat, dan Perindo), serta empat parpol melaporkan pengeluaran di atas Rp 10 miliar (PDI-P, PAN, PSI, dan PPP).
Dalam LADK 18 parpol, PKN menjadi parpol dengan laporan pengeluaran terendah, yakni Rp 42.700.400. Nilai tersebut merupakan pengeluaran dari parpol, termasuk 525 calon anggota legislatif Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya, setiap caleg menghabiskan anggaran kampanye sebesar Rp 81.335 untuk periode pelaporan 17 Desember 2023 hingga 6 Januari 2024, atau Rp 3.873 per hari.
Sementara PBB menjadi parpol yang pengeluarannya terendah kedua dengan pengeluaran Rp 228.300.000. Nilai tersebut setara dengan pengeluaran Rp 485.744 per caleg untuk 21 hari, atau Rp 23.130 per hari.
”Ada yang belum melaporkan semua pengeluaran, tetapi kami memang termasuk partai duafa yang dananya terbatas. Kalaupun ada yang punya dana kampanye besar, jumlahnya tidak banyak,” kata Sekretaris Jenderal PBB Afriansyah Noor.
Baca juga: PPATK: Lonjakan Transaksi Ditemukan pada Rekening Bendahara Parpol dan Caleg
Mantan Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengatakan, laporan dana kampanye sering kali dianggap sebagai formalitas. Oleh karena itu, parpol kerap tidak mempersiapkan manajemen pelaporan dana kampanye secara serius. Terlebih, audit terhadap laporan dana kampanye hanya terkait kesesuaian laporan dengan bukti, bukan audit untuk membuktikan kebenaran materiil.
”Yang sering terjadi adalah apa yang dilihat publik di lapangan tidak sebanding dengan nilai yang dilaporkan oleh parpol ke KPU,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Abhan, pemilih yang bisa memberikan sanksi sosial ke parpol-parpol yang tidak tertib dan transparan dalam melaporkan dana kampanye. Pemilih bisa membandingkan laporan dengan pengamatan terhadap kampanye di lapangan. Parpol-parpol yang melaporkan dana kampanye tidak wajar bisa tidak dipilih. Namun, hal itu juga mesti diikuti oleh KPU yang membuka data penerimaan dan pengeluaran dana kampanye parpol secara detail.
”Selama tidak ada revisi UU Pemilu, laporan pendanaan parpol tetap akan hanya formalitas, bahkan tidak akan memperkuat kelembagaan parpol untuk tertib administrasi dan transparan ke publik,” ujarnya.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggrani, menambahkan, praktik pelaporan dana kampanye selama ini hanya menjadi formalitas dan tidak mencerminkan akuntabilitas dana kampanye peserta pemilu. Oleh karena itu, publik dan media harus ikut mengawasi dan kritis atas rasionalitas dana kampanye yang dilaporkan peserta pemilu. Termasuk bersuara menyoroti saat ada laporan yang secara penalaran memuat ketidakwajaran yang sangat kuat.
Baca juga: ”Tabrak, Prof!”, Forum Buka-bukaan Politik dan Hukum yang Riuh dan Apa Adanya
Di sisi lain, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) seharusnya proaktif dan tidak mendiamkan irasionalias laporan dana kampanye. Bawaslu jangan hanya fokus mengawasi rekening khusus dana kampanye (RKDK) dan isi laporan resmi saja, tetapi melakukan pengawasan aktif dan audit lapangan atas realisasi dana kampanye yang sebenarnya.
”Jika ada indikasi kuat laporan sumbangan dana kampanye tidak memuat pemenuhan informasi yang benar, mestinya Bawaslu bisa langsung menjadikannya sebagai informasi awal untuk melakukan penelusuran atau investigasi,” kata Titi.