logo Kompas.id
Politik & HukumJika Pemerintahan Lumpuh...
Iklan

Jika Pemerintahan Lumpuh Total, Apa Kata MK?

Hari ini, MK akan memutuskan pengujian UU Pembentukan Peraturan Perundangan terkait kewenangan MPR mengeluarkan Tap MPR.

Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
· 5 menit baca
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
KOMPAS/HERU SRI KUMORO

Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).

Barangkali Anda mengingat drama besutan David Guggenheim yang berjudul Designated Survivor yang tayang perdana pada 2016. Drama politik tersebut mengisahkan kondisi politik yang diawali dengan terbunuhnya presiden Amerika Serikat, wakil presiden AS, dan semua orang dalam garis suksesi kepresidenan.

Hanya tersisa Menteri Perumahan dan Pengembangan Kota Amerika Serikat Tom Kirkman yang bertahan dari ledakan dahsyat yang menewaskan presiden dan pimpinan negara lainnya. Tom memang disiapkan sebagai designated survivor.

Adalah Yusril Ihza Mahendra beserta partainya, Partai Bulan Bintang, yang ”terinspirasi” untuk melihat kondisi serupa bila terjadi di Indonesia. Ada pertanyaan yang butuh dijawab, siapa yang bertanggung jawab apabila pemerintah/eksekutif lumpuh total?

Undang-Undang Dasar 1945 sebenarnya sudah mendesain siapa yang harus mengambil alih kepemimpinan nasional apabila presiden dan wakil presiden berhalangan. Pasal 8 Ayat (3) UUD 1945 menyebutkan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama (triumvirat).

Namun, jika triumvirat pun berhalangan, siapa yang harus mengambil keputusan menyelamatkan keadaan? Inilah yang menjadi pertanyaan Yusril dan Partai Bulan Bintang yang kemudian dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara tersebut secara resmi diajukan oleh Partai Bulan Bintang, yang diwakili oleh Ketua Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra dan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor.

Baca juga: Usul Tambahkan Klausul ”Kedaruratan” MPR Bukan untuk Tunda Pemilu 2024

Joko Widodo mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden Periode 2019-2024 dalam Sidang Paripurna MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)

Joko Widodo mengucapkan sumpah jabatan sebagai Presiden Periode 2019-2024 dalam Sidang Paripurna MPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Minggu (20/10/2019).

MK sudah menggelar 10 kali sidang untuk memeriksa perkara tersebut, termasuk di antaranya mendengarkan keterangan sejumlah ahli, baik yang dihadirkan oleh pemohon maupun MK. MK menghadirkan setidaknya dua ahli. MK akan memutuskan perkara tersebut pada Selasa (16/1/2024).

Partai Bulan Bintang mempersoalkan ketentuan Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Penjelasan pasal tersebut seakan-akan menutup wewenang MPR untuk mengeluarkan penetapan-penetapan, termasuk penetapan untuk mengatasi keadaan bahaya.

Adapun bunyi Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No 12/2011 sebagai berikut, ”yang dimaksud dengan ’Ketetapan MPR’ adalah Ketetapan MPR yang masih berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR Tahun 1960 sampai Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”

Partai Bulan Bintang mengandaikan adanya keadaan di mana presiden dan wakil presiden, berikut triumvirat beserta jajaran yang lain lumpuh atau berhalangan secara serentak. Keadaan bahaya tersebut tidak dapat diatasi oleh pemerintah karena pemerintahan tidak berfungsi sama sekali.

Lantas, siapakah yang mempunyai kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Partai Bulan Bintang berpendapat, demi menyelamatkan bangsa dan negara, hanya MPR (yang terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat) yang dapat mengambil keputusan-keputusan genting untuk menyelesaikan keadaan bahaya.

Baca juga: Klausul ”Kedaruratan” Tunda Pemilu Rentan Multitafsir

Iklan
Ilustrasi
HERYUNANTO

Ilustrasi

Akan tetapi, Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No 12/2011 seakan menutup hal tersebut. MPR tidak berwenang lagi membuat ketetapan untuk mengatasi keadaan bahaya yang tidak dapat diatasi pemerintahan eksekutif yang lumpuh secara serentak.

Tap MPR di masa krisis

Padahal, jika berkaca pada sejarah ketatanegaraan, ketetapan MPR yang bercorak pengaturan sudah empat kali menyelamatkan negara dari krisis konstitusional. Pertama, MPRS membuat ketetapan tentang larangan berkembangnya ajaran Marxisme dan Leninisme setelah terjadi pemberontakan G 30/S tahun 1965. Kedua, MPRS menerbitkan penetapan yang bersifat beschickking untuk mengangkat pengemban Supersemar menjadi pejabat presiden RI setelah Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS tahun 1967.

Ketiga, MPR membuat ketetapan tentang pertanggungjawaban presiden melalui Memorandum I dan II yang dapat memberhentikan presiden dari jabatannya. Ketetapan ini membuat pemberhentian Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid menjadi sah dan konstitusional.

Yang keempat, MPR telah membuat Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil Presiden Berhalangan. Ketetapan tersebut menjadi dasar untuk berhentinya Presiden kedua RI Soeharto dari jabatannya dan pengambilan sumpah jabatan Presiden ketiga RI BJ Habibie. Dengan adanya ketetapan ini, proses tersebut sah dan konstitusional.

Suasana saat digelar Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (16/8/2022).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Suasana saat digelar Sidang Tahunan MPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (16/8/2022).

Pemohon menilai, Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No 12/2011 tersebut justru bertentangan dengan norma pasal yang sama sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian, penjelasan pasal tersebut harus dibatalkan. Sebab, MPR sebagai representasi kedaulatan rakyat berkewajiban hukum mengambil keputusan untuk mengatasi keadaan darurat. Keputusan itu diterbitkan dalam bentuk ketetapan MPR.

Untuk memperkuat dalilnya, Partai Bulan Bintang menghadirkan ahli hukum tata negara Margarito Kamis yang berpendapat MPR memiliki wewenang untuk membentuk ketetapan sebagai kebutuhan konstitusional (constitutional necessity) yang tidak terhindarkan. Wewenang mengeluarkan ketetapan tersebut dapat diterima sebagai hal yang nyata-nyata perlu, pantas, dan dibutuhkan sebagai cara konstitusional yang pantas dalam mengefektifkan keandalan UUD 1945.

MK sendiri menghadirkan ahli para pelaku amendemen UUD 1945, yakni I Dewa Gede Palguna, mantan hakim konstitusi yang juga mantan anggota Panitia Ad Hoc I (PAH I) Badan Pekerja MPR dan Jakob Samuel Halomoan Lumbantobing, PAH I BP MPR. Jakob tidak sepakat dengan keinginan Partai Bulan Bintang agar MPR bisa mengeluarkan ketetapan yang bersifat mengatur (regeling) karena hal itu akan merombak seluruh sistem atau setidaknya menimbulkan kerancuan.

I Dewa Gede Palguna juga mengungkapkan hal serupa. Menurut dia, MPR sudah tidak memiliki kewenangan mengeluarkan ketetapan karena sistem ketatanegaraan kita saat ini tidak lagi bertumpu pada supremasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Baca juga: MK Matangkan Persiapan Penanganan Sengketa Pemilu 2024

I Dewa Gede Palguna
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU

I Dewa Gede Palguna

Ia justru berpandangan bahwa Penjelasan Pasal 7 Ayat (1) huruf b UU No 12/2011 merupakan turunan langsung dari perintah UUD 1945 sehingga posisinya seharusnya bukan di bagian penjelasan undang-undang. Ketentuan itu seharusnya justru merupakan norma undang-undang, dalam hal ini UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Palguna juga tidak sepakat apabila ketika negara dalam kondisi ekstrem/bahaya kemudian Tap MPR menjadi jalan keluarnya. Menurut dia, seharusnya kondisi tersebut diatur dalam undang-undang tentang keadaan darurat dan bukan menggunakan instrumen Tap MPR.

Perdebatan ini akan berakhir pada Selasa ini, saat MK membacakan putusannya. Semoga putusan MK mampu menjawab pertanyaan yang dilontarkan Partai Bulan Bintang (Yusril dkk) sehingga ada jalan keluar apabila keadaan benar-benar seperti dibayangkan pemohon uji materi.

Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
Bagikan