Tiga Capres Adu Gagasan soal Utang Luar Negeri
Prabowo Subianto percaya diri utang luar negeri Indonesia aman dan digunakan untuk hal produktif. Sementara itu, Anies Baswedan menyebut utang Indonesia tidak aman dan digunakan untuk membeli alutsista bekas.
JAKARTA, KOMPAS — Utang luar negeri menjadi salah satu sumber pembiayaan dalam membangun Indonesia. Namun, instrumen ini berpotensi mengganggu kedaulatan karena negara atau organisasi pemberi utang bisa mendikte arah kebijakan Indonesia. Calon presiden Prabowo Subianto menyebut utang Indonesia aman, sedangkan capres Anies Baswedan membantahnya. Sementara itu, capres Ganjar Pranowo menyebut Indonesia harus membuat ekonomi semakin efisien agar ketergantungan terhadap utang menurun.
Capres nomor urut 2, Prabowo Subianto, mengklaim tingkat utang luar negeri Indonesia aman, yang tecermin dari tingkat utang terhadap produk domestik bruto (loan to GDP ratio) sebesar 40 persen. Angka ini menjadi salah satu yang terendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Pihaknya mengaku tidak khawatir dengan intervensi lembaga ataupun negara pemberi utang karena Indonesia memiliki posisi tawar yang kuat lewat program hilirisasi mineral yang digulirkan sejak 2019.
Melalui program tersebut, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan yang besar sehingga dapat membiayai pembangunan pertahanan Indonesia. Pembiayaan lewat hal ini pula yang menjadi sumber anggaran untuk membangkitkan industri pertahanan dalam negeri. Kekuatan militer yang disegani juga membuat Indonesia sulit diintervensi oleh pemberi utang.
Prabowo juga sekaligus membantah pernyataan capres nomor 1, Anies Baswedan, yang menyebut anggaran dipakai untuk membeli alat utama sistem persenjataan (alutsista) bekas. Menteri Pertahanan ini menjelaskan, hampir 50 persen alutsista dunia adalah bekas, tetapi usia pakainya masih muda.
”Kita dihormati dan tidak pernah gagal bayar utang. Posisi tawar kita kuat lewat hilirisasi. Utang boleh asal produktif,” ujar Prabowo dalam Debat Capres Pemilu 2024, di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (7/1/2024).
Baca juga: Prabowo Jaga Tradisi Politik Bebas Aktif, Ganjar Lakukan Redefinisi dalam Konteks Kekinian
Anies menjelaskan, persentase loan to GDP ratio Indonesia belum aman dan masih terlalu tinggi. Dalam penyampaian visi-misinya, Anies ingin tingkat utang Indonesia bisa berada di angka 30 persen dari PDB. Skema utang luar negeri pun harus lebih kreatif, dengan melibatkan swasta. Perluasan wajib pajak juga penting agar anggaran untuk melunasi utang bisa semakin optimal.
Utang juga harus dihabiskan untuk aktivitas produktif, tidak untuk aktivitas produktif seperti membeli alutsista bekas. ”Ini yang sebaiknya harus dilakukan,” ujarnya.
Sementara itu, capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo, memperingatkan negara untuk berhati-hati dalam mengambil utang. Mengutip buku Confession of Economic Hit Man karangan John Perkins, banyak negara yang kolaps akibat gegabah dalam mengambil utang. Agar terlepas dari ketergantungan, ekonomi Indonesia perlu efisien.
Ia menilai, ekonomi Indonesia harus tumbuh hingga ke angka 7 persen. Tidak hanya itu, rasio investasi untuk menumbuhkan ekonomi tiap 1 persen atau incremental capital output ratio (ICOR) harus bisa turun ke angka 4 persen, di mana ICOR Indonesia masih berada di angka 6,8 persen. Dengan ekonomi seperti ini, Indonesia bisa membiayai pembelian alutsista tanpa utang.
”Industri pertahanan dalam negeri kita bisa didorong. No utang, no usang,” ujarnya.
Baca juga: Industri Pertahanan Indonesia, Sudah Mandiri atau Masih Bergantung Produk Luar Negeri?
Industri pertahanan dalam negeri kita bisa didorong. No utang, no usang.
Dalam debat kali ini, KPU menunjuk 11 panelis. Mereka ialah pakar keamanan Universitas Pertahanan, Kusnanto Anggoro; Ketua Dewan Guru Besar Universitas Pertahanan Laksamana TNI (Purn) Marsetio; Guru Besar Bidang Keamanan Internasional Fisipol Universitas Kristen Indonesia Angel Damayanti; pengajar Hubungan Internasional Universitas Binus, Curie Maharani Savitri.
Selain itu, juga Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia Evi Fitriani; Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani Hikmahanto Juwana; serta Ahli Aspek Geospasial Hukum Laut Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana.
Kemudian pengajar Program Studi Hubungan Internasional Ahli Keamanan dan Pertahanan Universitas Pertamina, lan Montratama; Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional, Irine Hiraswari Gayatri; Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia Philips J Vermonte, serta Guru Besar Bidang Keamanan Global Universitas Padjadjaran Widya Setiabudi Sumadinata.