logo Kompas.id
Politik & HukumPertaruhan Partai Politik...
Iklan

Pertaruhan Partai Politik Lokal Aceh pada Pemilu 2024

Pemilu 2024 menjadi ujian bagi partai politik lokal di Aceh. Kemiskinan masih tinggi dan kepercayaan pada partai lokal semakin menurun. Partai Aceh dan Partai Nanggroe Aceh masih bertahan, sementara yang lain berguguran.

Oleh
ZULKARNAINI
· 6 menit baca

Para calon anggota legislatif, pengurus, dan kader dari Partai Aceh berkonvoi ke kantor Komisi Pemilihan Independen (KIP) Aceh/KPU Aceh, Kamis (11/5/2023), untuk mendaftarkan bakal calon anggota DPR Aceh.
ZULKARNAINI/KOMPAS

Para calon anggota legislatif, pengurus, dan kader dari Partai Aceh berkonvoi ke kantor Komisi Pemilihan Independen (KIP) Aceh/KPU Aceh, Kamis (11/5/2023), untuk mendaftarkan bakal calon anggota DPR Aceh.

Pemilu 2024 kembali menjadi ujian bagi partai politik lokal di Provinsi Aceh. Kehadiran partai politik lokal membuat nuansa pemilu di ”Serambi Mekkah” berbeda dengan provinsi lain. Meski demikian, secara perlahan partai politik lokal mulai ditinggalkan pemilih.

Pada awal pasca-perdamaian, partai lokal menguasai penuh parlemen dan jabatan eksekutif baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Euforia politik lokal membuat warga Aceh ramai-ramai mencoblos partai lokal saat pemilu legislatif dan pemilihan kepala daerah.

Warga menaruh harapan besar pada partai awak tanyoe (partai kita) untuk mengubah hidup mereka menjadi lebih sejahtera. Namun, sejumlah kader partai lokal terjerat kasus korupsi, di antaranya bekas Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, bekas Bupati Aceh Utara Ilyas Pasee, dan bekas Wali Kota Lhokseumawe Suaidi Yahya.

Warga menaruh harapan besar pada partai awak tanyoe(partai kita) untuk mengubah hidup mereka menjadi lebih sejahtera. Namun, sejumlah kader partai lokal terjerat kasus korupsi.

Baca juga: Partai Politik Lokal Meneguhkan Demokrasi di Aceh

Alhasil, Aceh masih menjadi provinsi dengan penduduk miskin tertinggi di Sumatera dan nomor enam di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Maret 2023, kemiskinan Aceh sebesar 14,45 persen atau 806.750 orang dari 5,482 juta jiwa. Angka itu lebih tinggi daripada rata-rata kemiskinan nasional sebesar 9,36 persen. Padahal, selama 2008-2021, Aceh telah menikmati kucuran dana otonomi khusus (otsus) dari pemerintah pusat sebesar Rp 88,43 triliun.

Suaidi Yahya, kader Partai Aceh, bekas Wali Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, saat dibawa ke lapas pasca ditetapkan sebagai tersangka korupsi keuangan Rumah Sakit Arun Lhokseumawe, Senin (22/5/2023).
DOK KEJARI LHOKSEUMAWE

Suaidi Yahya, kader Partai Aceh, bekas Wali Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, saat dibawa ke lapas pasca ditetapkan sebagai tersangka korupsi keuangan Rumah Sakit Arun Lhokseumawe, Senin (22/5/2023).

Perdamaian di Helsinki tahun 2005 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh merupakan landasan hukum pembentukan partai politik lokal. Karena bersifat lokal, partai tersebut hanya dapat mengikuti pemilu legislatif dan kepala daerah hanya tingkat kabupaten/kota dan provinsi.

Partai politik lokal di Aceh telah tiga kali mengikuti pemilu legislatif (pemilu), yakni 2009, 2014, dan 2019. Dari 13 partai politik lokal, hanya Partai Aceh dan Partai Nanggroe Aceh yang bertahan, sementara yang lain berguguran. Beberapa bersalin dengan nama lain untuk bisa kembali mengikuti pemilu.

Baca juga: Pemilu 2024 Bakal Jadi Ujian Berat Parpol Lokal di Aceh

Alami kemunduran

Meski demikian, Partai Aceh sebagai partai lokal terbesar juga mengalami kemunduran. Pada 2009, Partai yang dipimpin oleh mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Muzakir Manaf, itu meraih 33 kursi dari kuota 69 kursi di DPR Aceh. Namun, pada Pemilu 2014, Partai Aceh hanya mampu mengamankan 29 kursi dari total 81 kursi di DPR Aceh. Pemilu 2019, Partai Aceh kian ditinggalkan pemilihnya, mereka hanya mendapatkan 18 kursi dari 81 kursi di DPR Aceh.

Tahun 2018, bekas Gubernur Aceh Irwandi Yusu  ditangkap KPK karena kasus korupsi data otsus. Irwandi merupakan eks Gerakan Aceh Merdeka. Setelah keluar dari Partai Aceh, dia membangun Partai Nanggroe Aceh.
KOMPAS/ZULKARNAINI

Tahun 2018, bekas Gubernur Aceh Irwandi Yusu ditangkap KPK karena kasus korupsi data otsus. Irwandi merupakan eks Gerakan Aceh Merdeka. Setelah keluar dari Partai Aceh, dia membangun Partai Nanggroe Aceh.

Konflik internal antarpetinggi GAM memicu penurunan suara. Partai Nasional Aceh (PNA), yang merupakan pecahan dari Partai Aceh, justru dari tiga kursi pada 2014 bertambah menjadi enam kursi pada 2019. Namun, jika dikalkulasi, semua perolehan kursi partai lokal dari 2009 hingga 2019 terus berkurang.

Di bawah rezim partai politik lokal, laju pembangunan tidak berjalan seperti harapan banyak orang. Korupsi dana otsus jamak terjadi. Contohnya, korupsi beasiswa dana aspirasi DPR Aceh dan pembangunan wastafel Covid-19.

Investasi minim dan industri tidak tumbuh. Walakin, sejak perdamaian hingga kini Aceh masih menyusu pada dana otsus yang akan berakhir pada 2028. Belakangan usaha memperpanjang dana otsus menjadi dagangan politik untuk meraih suara pemilih.

https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2023/11/29/c630d040-d91f-4d0d-bcc2-d9f2e1077b88_gif.gif

Fakta warga Aceh semakin meninggalkan partai lokal bisa dilihat dari perolehan kursi di DPRD kabupaten dan provinsi. Tidak salah jika disebut Pemilu 2024 menjadi ajang pertaruhan bagi partai politik lokal untuk meningkatkan perolehan suara atau malah semakin ditinggalkan.

Syahrial (46), seorang tukang becak di Kota Banda Aceh, mengatakan, kepercayaannya kepada partai lokal mulai luntur. Tiga kali pemilu dia memberikan amanah kepada partai lokal, tetapi kualitas hidupnya tidak juga berubah, dia masih tukang becak dengan pendapatan pas-pasan.

Baca juga: Perkuat Pendidikan Demokrasi di Aceh

Di bawah rezim partai politik lokal, laju pembangunan tidak berjalan seperti harapan banyak orang.

”Sekarang harga barang naik semua, sementara penumpang susah didapat. Ekonomi semakin sempit, belum tentu saya pilih partai lokal,” ujar Syahrial, awal Desember lalu.

Demikian juga dengan Azhari (35) yang mulai meragukan kepemimpinan partai lokal. Dia merasa lapangan pekerjaan di Aceh susah diperoleh, pengangguran tinggi. ”Sebenarnya keduanya (partai lokal dan partai nasional) ragu. Saya belum punya pilihan caleg dan partai apa,” kata Azhari.

Penyerahan sertifikat tanah secara simbolis untuk para eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka dan korban konflik dalam perayaan 17 tahun damai Aceh, Senin (15/8/2022).
KOMPAS/ZULKARNAINI

Penyerahan sertifikat tanah secara simbolis untuk para eks kombatan Gerakan Aceh Merdeka dan korban konflik dalam perayaan 17 tahun damai Aceh, Senin (15/8/2022).

Syahrial dan Azhari merupakan sedikit dari sekian banyak warga Aceh yang mulai meragukan partai lokal. Suara sumbang untuk partai lokal kian nyaring terdengar. Jika dulu orang menyebutkan partai awak tanyoe, sekarang mulai muncul penyebutan partai awak nyan (partai orang lain).

Tampil eksklusif

Dosen Politik Islam Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Langsa, Muhammad Alkaf, mengatakan, awalnya warga Aceh sangat bangga pada partai lokal. Aceh sangat istimewa karena menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang memiliki partai lokal.

Iklan

Partai lokal menjadi partai alternatif untuk memperjuangkan perbaikan nasib warga Aceh. Partai lokal dianggap lebih memahami persoalan dan tahu kebutuhan Aceh. Kebijakan politik dapat diambil lebih cepat tanpa harus menunggu ketuk palu dari Jakarta, seperti partai nasional.

Namun, faktanya, Aceh di bawah partai lokal tidak banyak berubah. Kemiskinan masih tinggi dan lapangan pekerjaan sempit. Dana otsus sebagai kompensasi perdamaian minim mengalir untuk para korban konflik dan penguatan perdamaian. Justru yang muncul ke publik adalah kasus korupsi dana otsus.

”Persepsi masyarakat tentang partai lokal mulai berubah. Partai lokal tidak lagi dilihat sebagai alternatif politik dalam relasi Aceh-Jakarta, tetapi sudah dianggap biasa saja,” kata Alkaf.

Muzakir Manaf saat menyampaikan sambutan pada pembukaan Musyawarah Besar III Partai Aceh, Minggu (26/2/2023). Muzakir Manaf, eks kombatan, kembali dipilih sebagai ketua umum.
DOK PARTAI ACEH

Muzakir Manaf saat menyampaikan sambutan pada pembukaan Musyawarah Besar III Partai Aceh, Minggu (26/2/2023). Muzakir Manaf, eks kombatan, kembali dipilih sebagai ketua umum.

Di sisi lain, Alkaf melihat Partai Aceh sangat eksklusif. Partai Aceh membangun citra sebagai partai eks GAM dan sulit menerima orang dari luar GAM. Padahal, tidak semua eks GAM yang diusung memiliki intelektualitas yang cukup untuk duduk di parlemen atau kepala daerah.

Baca juga: Wajah Aceh dalam Gelimang Dana Otonomi Khusus

Menurut Alkaf, seharusnya partai lokal memosisikan diri sebagai partai politik orang Aceh dan membuka ruang bagi semua intelektual Aceh untuk bergabung.

”Jika selama ini hanya dihuni eks kombatan, Partai Aceh harus membuka pintu buat banyak kalangan. Tujuannya, agar partai ini tidak hanya jadi milik satu golongan,” kata Alkaf.

Konflik internal

Dosen Universitas Abulyatama Aceh Besar, Usman, dalam risetnya, ”Analisis Eksistensi Partai Politik Lokal di Aceh Pasca Perdamaian” (2021), menyebutkan, konflik di internal membuat tokoh-tokoh GAM pecah. Konflik mulai terlihat saat pemilihan gubernur tahun 2012.

Irwandi Yusuf, mantan anggota GAM, sebagai gubernur petahana tidak didukung lagi oleh Partai Aceh. Sebaliknya, Partai Aceh justru mengusung pasangan Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf, keduanya juga mantan anggota GAM.

Muhammad Nasir (44), penyandang disabilitas, dengan mengayuh sepeda yang telah dimodifikasi menyusuri jalan di Pasar Lambaro, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Kamis (17/3/2022). Lapangan pekerjaan untuk penyandang disabilitas dan perlindungan sosial masih minim. Mereka harus berusaha lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
KOMPAS/ZULKARNAINI

Muhammad Nasir (44), penyandang disabilitas, dengan mengayuh sepeda yang telah dimodifikasi menyusuri jalan di Pasar Lambaro, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Kamis (17/3/2022). Lapangan pekerjaan untuk penyandang disabilitas dan perlindungan sosial masih minim. Mereka harus berusaha lebih keras untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

Keluar dari Partai Aceh, Irwandi Yusuf dan eks GAM lainnya mendirikan Partai Nanggroe Aceh. Belakangan Partai Nanggroe Aceh diterpa konflik internal, dualisme kepengurusan. Sejumlah kader anggota dewan dari Partai Nanggroe Aceh yang terpilih pada Pemilu 2019 dipecat dan kini bergabung ke partai nasional.

”Partai lokal tidak mampu merealisasikan janji politik sehingga pemilih atau simpatisan kecewa akhirnya pemilih memilih partai nasional,” ujar Usman.

Sejumlah kader anggota dewan dari Partai Nanggroe Acehyang terpilih pada Pemilu 2019 dipecat dan kini bergabung ke partai nasional.

Juru Bicara Partai Aceh Nurzahri menyadari tantangan pada pemilu 2024. Sejauh ini, penurunan suara telah dievaluasi. Partai Aceh menjadi satu-satunya parpol lokal yang masih bertahan sejak dibentuk. Namun, suara Partai Aceh turun pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019.

”Kami memanggil mantan bupati/wali kota dari Partai Aceh agar maju sebagai calon legislatif untuk meningkatkan peluang menang,” ujar Nurzahri.

Juru Bicara Partai Aceh Nurzahri
KOMPAS/ZULKARNAINI

Juru Bicara Partai Aceh Nurzahri

Nurzahri mengatakan, ada perubahan signifikan dalam daftar caleg Pemilu 2024. Salah satu yang signifikan adalah latar belakang pendidikan, yakni 4 doktor, 9 magister, 29 sarjana, dan 50 lulusan SMA.

”Kami ingin mengubah citra dari disebut partai paket C menjadi partai yang secara pendidikan punya kualitas lebih dari partai lain,” kata Nurzahri.

Nurzahri optimistis, pada Pemilu 2024, Partai Aceh bisa merebut 50 persen kursi DPR Aceh. ”Ada 60 persen wajah baru yang kami daftarkan. Tahun depan, kami harus memperoleh 50 persen,” ujarnya.

Tantangan kian besar

Ketua DPW Kabupaten Aceh Besar Partai Nanggroe Aceh Nukman Piyeung menuturkan, pada Pemilu 2024, tantangan bagi partai lokal semakin besar. Partai lokal harus mengembalikan kepercayaan warga Aceh.

Baca juga: Demokrasi Sungsang Aceh

”Kami merekrut caleg-caleg dari banyak kalangan, bahkan dari kelompok milenial. Kami meminta mereka untuk kampanye ke kampung-kampung menemui warga,” kata Nukman.

Ketua Umum Partai Darul Aceh Tgk H Muhibbussabri saat mengantarkan berkas pencalonan anggota DPR Aceh ke kantor Komisi Independen Pemilihan/Komisi Pemilihan Umum Provinsi Aceh, Minggu (14/5/2023). Pemilu di Aceh sedikit berbeda dengan di provinsi lain karena ada keikutsertaan partai lokal.
KOMPAS/ZULKARNAINI

Ketua Umum Partai Darul Aceh Tgk H Muhibbussabri saat mengantarkan berkas pencalonan anggota DPR Aceh ke kantor Komisi Independen Pemilihan/Komisi Pemilihan Umum Provinsi Aceh, Minggu (14/5/2023). Pemilu di Aceh sedikit berbeda dengan di provinsi lain karena ada keikutsertaan partai lokal.

Nukman mengatakan, dalam dua pemilu terakhir terjadi perubahan sikap pemilih. Politik uang terjadi secara masif sehingga tanpa anggaran besar sulit untuk bertarung.

Meski demikian, Nukman optimistis Partai Nanggroe Aceh sebagai bagian dari partai yang dibangun oleh eks GAM akan tetap berada di hati warga Aceh.

Ketua Umum Partai Darul Aceh Tgk H Muhibbussabri juga sangat yakin partainya bakal lolos ambang batas dan meraih 10 kursi DPR Aceh dari 10 daerah pemilihan. Dia menyebutkan beberapa tokoh lokal diusung jadi calon legislatif bagian dari strategi untuk mendapatkan suara maksimal.

Partai Darul Aceh memiliki basis pemilih di dayah atau pesantren. Namun, tahun ini saingan Partai Darul Aceh kian berat dengan ikut serta dua partai yang juga ditopang kaum santri, yakni Partai Adil Sejahtera (PAS) dan Partai Generasi Atjeh Beusaboh Thaat dan Taqwa (GABTHAT).

”PDA (Partai Darul Aceh) partai unik, tiga kali tidak lolos ambang batas, tetapi perolehan suara terus meningkat. Tahun 2009 dan 2014 hanya satu kursi, tetapi 2019 kami dapat tiga kursi. Kali ini kami yakin lolos ambang batas dan kami akan mengusulkan calon gubernur,” kata Muhibbussabri.

Tanggal 14 Februari 2024 sebanyak 3.742.037 warga Aceh akan memberikan hak suara. Apakah partai lokal masih menjadi pilihan utama?

Editor:
MADINA NUSRAT
Bagikan