Tragedi Mei, antara Korsel dan Indonesia
Indonesia dan Korsel sama-sama menorehkan sejarah kelam saat rezim otoriter berkuasa. Bedanya, desakan publik Korea diperkuat kemauan politik, bisa menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM semasa rezim itu berkuasa.
Mei, 42 tahun silam, Korea Selatan bergejolak. Masyarakat kota Gwangju di Korsel selatan, didominasi mahasiswa, turun ke jalan, berunjuk rasa melawan junta militer pimpinan Mayor Jenderal Chun Doo-hwan. Militer lantas dengan represif menekan pengunjuk rasa. Korban berjatuhan hingga diperkirakan melebihi angka resmi yang menyebutkan, setidaknya 150 warga sipil tewas dan ribuan lainnya terluka.
Peristiwa unjuk rasa di Gwangju yang terjadi pada 18-27 Mei 1980 itu memang tak berhasil menggulingkan Chun Doo-hwan. Namun, peristiwa itu menjadi kebangkitan gerakan demokrasi di Korea Selatan. Kegagalan pada Peristiwa Gwangju 1980 memunculkan lahirnya aliansi mahasiswa, intelektual, dan masyarakat untuk perjuangan demokrasi. Hingga akhirnya pada 1987, massa dalam jumlah lebih besar berunjuk rasa di seantero Korsel menuntut penerapan demokrasi dan bisa memaksa rezim Chun untuk menerima demokrasi dan digelarnya pemilu.