logo Kompas.id
β€Ί
Politik & Hukumβ€ΊSistem Pemilihan Penjabat...
Iklan

Sistem Pemilihan Penjabat Kepala Daerah yang Tertutup Buka Ruang Korupsi

Sistem pemilihan penjabat kepala daerah dituntut transparan dan membuka partisipasi publik. Jika tidak, praktik jual beli jabatan bisa terjadi. Membiarkan praktik ini bisa mengakibatkan korupsi yang lebih besar.

Oleh
NIKOLAUS HARBOWO, PRAYOGI DWI SULISTYO
Β· 1 menit baca
Presiden Joko widodo dan Ibu Negara Iriana bersiap untuk memberikan ucapan selamat kepada Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilantik di Istana Negara, Jakarta, Jumat (12/5/2017). Sebanyak lima pasang gubernur dan wakil gubernur dari Papua Barat, Gorontalo, Banten, Bangka Belitung, Sulawesi Barat hasil Pilkada 2017 dilantik hari itu.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Presiden Joko widodo dan Ibu Negara Iriana bersiap untuk memberikan ucapan selamat kepada Gubernur dan Wakil Gubernur yang dilantik di Istana Negara, Jakarta, Jumat (12/5/2017). Sebanyak lima pasang gubernur dan wakil gubernur dari Papua Barat, Gorontalo, Banten, Bangka Belitung, Sulawesi Barat hasil Pilkada 2017 dilantik hari itu.

JAKARTA, KOMPAS - Proses pemilihan 272 penjabat kepala daerah yang akan memimpin daerah-daerah yang kepala-wakil kepala daerahnya berakhir masa jabatannya pada 2022 dan 2023, rentan melahirkan praktik jual beli jabatan. Komisi Pemberantasan Korupsi menaruh perhatian besar terhadap ancaman itu. Namun, sebelum penegak hukum bertindak, pemerintah pusat bisa mencegahnya dengan membuat sistem pemilihan yang transparan.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (19/4/2022), mengatakan, potensi konflik kepentingan dalam pemilihan penjabat kepala daerah sangat besar. Hanya ada satu pihak yang menentukan, yakni pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Jika proses itu tidak dilakukan secara terbuka dan menihilkan ruang partisipasi publik, potensi penyelewengan akan kian besar.

Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
Bagikan