Dari Naga Air ke Naga Kayu, 12 Tahun Jejak Para ”Media Darling”
Di Tahun Naga Air, warga sukses menempatkan pilihannya memimpin Jakarta lalu di kursi presiden. Peluang di Naga Kayu?
Mulai 10 Februari 2024, sesuai dengan penanggalan tradisional China, dunia resmi memasuki tahun baru, yaitu Tahun Naga Kayu. Ini adalah Tahun Naga ketiga yang dirayakan secara bebas di Indonesia setelah yang pertama pada tahun 2000 dan kedua pada 2012.
Di Indonesia, perayaan yang terpengaruh budaya China pernah dilarang pada masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Barulah setelah Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina, masyarakat Indonesia kembali bebas melakukan kegiatan budaya China, termasuk Imlek.
Baca juga: Gemerlap Mal Baru Melawan Fenomena Redupnya Pusat Belanja
Bicara soal Imlek, dari 12 simbol dalam sistem penanggalan China, hanya naga yang tak memiliki representasi binatang sesungguhnya. ”Ini yang menyebabkan Tahun Naga menjadi istimewa dibandingkan shio lain dalam penanggalan China,” tulis René L Pattiradjawane di harian Kompas, Sabtu (21/1/2012).
Menurut jurnalis senior yang mendalami studi tentang China itu, naga disebut sumber kebijaksanaan dan kekuatan, simbol perubahan dan perbaikan. Naga identik dengan para pemimpin besar. Tak heran banyak orangtua menginginkan memiliki anak dengan shio Naga.
Peristiwa besar di Tahun Naga setidaknya terbukti sejak tahun 2000, yaitu kebebasan untuk menjalankan dan merayakan lagi budaya China yang sebenarnya memiliki pengaruh cukup besar pada budaya Nusantara sejak berabad-abad lampau.
Selanjutnya, ada kejadian fenomenal di Naga Air pada 12 tahun silam yang berdampak luas. Peristiwa itu tak lain adalah pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta.
Baca juga: Conan, Aoyama Gosho, dan Daya Tarik Fiksi Kriminal Perkotaan
Pada tahun itu, Joko Widodo menanggalkan jabatan di tengah periode kedua sebagai Wali Kota Surakarta di Jawa Tengah untuk mengejar posisi Gubernur DKI Jakarta. Selama memimpin kota yang lebih dikenal dengan nama Solo (2005-2010 dan 2010-2012) itu, Jokowi meraih popularitas di tingkat nasional, bahkan internasional.
Ia terkenal dengan penataan pedagang kaki lima yang manusiawi, pengadaan bus Trans Batik, penataan jalan utama Slamet Riyadi dan beberapa kawasan lain menjadi lebih ramah pejalan kaki, juga menjadikan Solo tuan rumah beberapa kegiatan skala dunia.
Pencapaian dan ketenaran itu meyakinkan partai pendukung untuk menyokong Jokowi merebut kursi Gubernur DKI. Berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Jokowi mengalahkan pasangan petahana Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.
Keduanya dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012. Pada hari yang sama, harian Kompas dalam laporan utama di halaman 1 memilih judul ”Kekuasaan untuk Warga, Partisipasi Publik Modal Besar Jokowi-Basuki Membangun Jakarta Baru”.
Pasangan itu punya modal partisipasi publik dalam bentuk 53,82 persen suara pada Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta 2012. Ekspektasi warga begitu besar terhadap Jokowi dan mantan Bupati Bangka Belitung itu.
Baca juga: Senyuman dan Janji-janji di Sepanjang Jalan Raya
Pada masa itu, Jakarta menghadapi kemacetan lalu lintas akut. Jaringan bus Transjakarta baru sekitar empat koridor dan realisasi penataan angkutan pengumpan jauh dari target.
Banjir juga terus mengintai karena sungai, situ, waduk, dan saluran air dipadati endapan, tertutup bangunan, atau menjadi permukiman. Ruang terbuka hijau jarang tersedia.
Pada akhir 2012 sampai di ujung Naga Air, kiprah Jokowi di Jakarta diawali dengan peluncuran Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan Kartu Jakarta Sehat (KJS). Kritik terhadap efektivitas jurus kartu-kartu muncul dari para ahli terkait, tetapi lantas tenggelam karena warga terpukau dengan gaya blusukan Jokowi.
Setiap hari dengan berpakaian kasual, Jokowi keluar masuk kampung. Warga dan media massa menyoroti Jokowi menunggui alat berat mengeruk sedimentasi di saluran air sampai situ yang puluhan tahun tak tersentuh revitalisasi. Tak lupa, ia menginisiasi program Kampung Deret, yaitu menata permukiman padat tanpa menggusur.
Baca juga: Megakota, Raksasa yang Serba Setengah-setengah
Dengan pendekatan personal, Jokowi mengatasi penolakan warga Fatmawati di Jakarta Selatan dan memuluskan proyek MRT layang di wilayah itu. Proses yang sama menyelesaikan tuntutan warga terkait ganti untung proyek Tol Jakarta Outer Ring Road West 2 (JORR W2).
Jokowi pun dijuluki media darling atau kesayangan media mengacu pada publikasi pemimpin atau tokoh yang dinilai memiliki kelebihan, yang terus muncul dalam pemberitaan secara terus-menerus.
Sesama tokoh populer
Belum genap separuh jalan dari satu periode memimpin Jakarta, pada 2014 Jokowi maju dalam kancah pemilihan presiden. Restu publik dibarengi sokongan partai-partai politik serta pilihan berpasangan dengan Jusuf Kalla, membawa Jokowi sukses menjadi RI 1.
Seusai pengukuhan resminya sebagai presiden dan wakil presiden, Jokowi-JK dielu-elukan massa yang menyemut di sepanjang jalan antara Gedung DPR-MPR di Senayan hingga Istana Merdeka di Medan Merdeka pada 20 Oktober 2014.
Sepanjang kepemimpinannya, Jokowi membangun tol Jawa dan merintis proyek serupa di Sumatera, Kalimantan, juga pulau lain. Ada pula pengembangan kawasan pengembangan khusus, pertambangan, proyek waduk, hingga food estate.
Bagi yang kontra, Jokowi dituding sekadar berorientasi pertumbuhan ekonomi kilat serta target-target instan lain.
Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Pembangunan jaringan tol disebut memanjakan kelas menengah ke atas yang senang bermobil. Namun, belum maksimal mengefektifkan lalu lintas angkutan logistik ataupun pengembangan kawasan industri baru.
Area pengembangan baru pun dinilai kurang memperhatikan keseimbangan lingkungan dan nasib warga setempat. Akan tetapi, semua itu belum sepenuhnya bisa melengserkan predikat media darling dan dukungan fanatik kepada Jokowi.
Di sisi lain, pasca-Jokowi, setidaknya ada dua pemimpin Jakarta yang tak kalah kuat meraup dukungan publik secara luas. Ahok naik menjadi gubernur dan tampil dengan ketegasan plus gaya ceplas-ceplos melabrak semua kalangan yang menabrak aturan.
Baca juga: Nasib ”Abu-abu” Kota Pengembangan KEK dan Kawasan Industri Baru
Kemudian ada Anies Baswedan, yang sebelumnya menjadi tim sukses dan diangkat sebagai salah satu menteri pada periode pertama Presiden Jokowi. Anies berbalik berseberangan dengan kubu Jokowi dan menjadi pesaing Ahok dalam kontestasi Pilkada DKI 2017.
Anies kala itu dengan menggandeng Sandiaga Uno, sosok yang juga banyak disukai masyarakat, berhasil membuat 57 persen lebih dari suara sah memilihnya.
Walakin, publik bisa melihat dengan mata kepala sendiri, tidak ada musuh ataupun kawan abadi di dunia politik. Idealisme dan janji-janji tak selalu dijunjung tinggi, apalagi ditepati.
Pergantian pemimpin dari kubu berbeda berdampak pada program pembangunan. Tiap pemimpin memiliki proyek unggulan berbeda yang kurang berkesinambungan satu sama lain disertai alasan kuat yang berbeda pula.
Duet Anies-Sandiaga hanya sebentar seperti mengulang masa Jokowi-Ahok. Sandiaga menjadi pasangan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden 2019. Walaupun kalah dari Jokowi-Ma’ruf Amin, Sandi dan Prabowo justru melebur masuk ke dalam kabinet Jokowi.
Manuver berebut kuasa
Menginjak 2024 memasuki Naga Kayu, para tokoh yang berebut kekuasan di DKI Jakarta dan tingkat nasional dalam 12 tahun terakhir masih terus disorot sesuai posisinya saat ini.
Jokowi dan pemerintahan di bawahnya, misalnya, akhir-akhir ini terus menjadi perbincangan publik. Kepercayaan kepadanya tengah terkoyak karena dinilai melanggar etika bernegara yang juga mencederai demokrasi.
Baca juga: Menitipkan Kota-kota pada (Calon) Presiden dan Wakil Presiden
Salah satu pemicunya ialah setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan yang membuat putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka (36), bisa masuk bursa calon wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024. Sebelum putusan MK itu, UU Pemilu No 7 Tahun 2017 mengharuskan calon presiden dan calon wakil presiden paling rendah berusia 40 tahun.
Putusan MK diyakini sarat nepotisme yang berlawanan dengan demokrasi. Seruan agar pemerintah menjaga demokrasi kemudian muncul dari banyak kalangan, termasuk para guru besar dan aktivitas di banyak daerah, hingga beberapa sebelum hari pencoblosan.
Meskipun demikian, pendukung fanatik Jokowi masih ada dan kuat. Seperti halnya dengan pendukung Anies, Ahok, Prabowo, Sandiaga, dan lainnya yang masing-masing juga memiliki rekam jejak positif ataupun negatif di mata publik.
Baca juga: Kelas Menengah Aspirasional adalah Kita, Berhati-hatilah...
Di tengah pro dan kontra publik terhadap situasi politik saat ini, para sosok yang dulu sama-sama dicap media darling itu pernah berseberangan dan bergandengan di Jakarta ataupun di pemerintah pusat, kini membentuk formasi berbeda lagi dalam kancah Pemilu 2024.
Walakin, publik bisa melihat dengan mata kepala sendiri, tidak ada musuh ataupun kawan abadi di dunia politik. Idealisme dan janji-janji tak selalu dijunjung tinggi, apalagi ditepati. Yang tampak jelas adalah berstrategi untuk mempertahankan atau merebut kekuasaan.
Keistimewaan rakyat
Jejak sejarah selama ribuan tahun pun mencatat bahwa pemimpin besar tidak selalu berkorelasi dengan pemimpin yang baik, adil, bijaksana, serta melindungi rakyat. Namun, pemimpin buruk bisa ditumbangkan atau digagalkan jika rakyat menghendaki.
Apa pun kondisinya sekarang, coblosan tetap digelar pada 14 Februari 2024. Apakah di Tahun Naga Kayu ini akan muncul pemimpin idaman yang mendapat dukungan publik secara luas?
Pada akhirnya keistimewaan Naga Kayu berpulang kepada kebijaksanaan dan kecermatan masyarakat menentukan pilihannya. Masa depan sesungguhnya ada di tangan publik, mari dengarkan suara hati nurani di bilik pencoblosan Pemilu 2024.
Baca juga: Catatan Urban