Keluar dari Goa Plato
Pemilu sebagai mekanisme mencari pemimpin dianggap ”demokratis” hanya ketika ia mencerminkan kehendak murni rakyat.
Tahun 2023, Freedom House di Washington menempatkan Indonesia dalam wilayah rada coklat dalam peta kebebasan demokrasi global.
Sederhananya, lembaga watchdog itu menilai Indonesia masih separuh demokratis, atau belum secara substansial utuh demokratis, dengan rincian 30/40 untuk kategori ”hak politik” dan 28/60 untuk ”kebebasan sipil”.
Sigmanya 58/100. Orang bisa bilang, itu penilaian asing yang mungkin berkepentingan terselubung. Namun, kritik selalu berguna untuk pembenahan diri. Tak ada salahnya kita menerimanya sebagai pembelajaran.
Tahun 2024 adalah momen yang kritikal karena Indonesia bakal menentukan pemimpin baru. Siapa yang memenangi pemilu menentukan bandul perjalanan sejarah bangsa—lupakan dulu perdebatan soal apakah sejarah dibentuk arus atas (the elites) ataukah arus bawah (the grassroots)!
Yang jelas, kepemimpinan politik selalu turut membentuk watak suatu zaman, dan sebaliknya. Mungkinkah Pemilu 2024 membuka pintu era kalabendu? Ataukah sejarah tengah menuntun kita menuju zaman keemasan?
Manusia goa
Plato (428-348 sebelum Masehi/SM) menyampaikan cerita ”manusia goa” kepada gurunya, Sokrates (470-399 SM), yang termuat dalam Politeia, karya besar yang entah kenapa diterjemahkan ”Republik” oleh pembaca Inggris, seolah-olah mirip dengan De Re Publica karya Cicero yang berisikan kisah politik Romawi pada tahun 51-50 SM.
Terjemahan itu, mungkin saja, ada kaitan dengan kecintaan utopis Plato terhadap model pemerintahan republik.
Siapa yang memenangi pemilu menentukan bandul perjalanan sejarah bangsa—lupakan dulu perdebatan soal apakah sejarah dibentuk arus atas ( the elites) ataukah arus bawah ( the grassroots)!
Kata politeia itu sendiri, dalam bahasa Yunani klasik, dipahami sebagai ”hak warga negara” atau bisa juga ”bentuk pemerintahan”. Kata itu ikut memperkaya asal-usul istilah ”politik” dalam konteks polis sebagai ”negara kota”—meskipun istilah ”politik” pertama kali ditemukan secara jelas dalam karya muridnya, Aristoteles (484-322 SM), yang berjudul Ta Politika, yang dalam terjemahan bebasnya ”urusan negara”.
Di dalamnya ada frasa zoon politikon, binatang politik, istilah yang digunakan Aristoteles untuk menggarisbawahi ontologi manusia sebagai makhluk sosial.
Kembali ke manusia goa! Plato menceritakan sejumlah tawanan yang diikat di goa membelakangi pintu masuk. Di depan mereka ada dinding yang menampilkan bayangan dari apa pun yang bergerak di luar pintu yang disebabkan api besar yang menyala di lubang masuk.
Seumur hidup, mereka terbelenggu di sana. Maka, terbangun keyakinan bahwa bayangan-bayangan di dinding itu adalah ”realitas sesungguhnya”. Suatu ketika, salah seorang tawanan bebas. Ia keluar dan menyaksikan realitas alam yang sesungguhnya, termasuk matahari (baca: sumber kebenaran).
Setelah balik ke goa, ia menceritakan kebenaran yang sesungguhnya dan berniat membebaskan yang lain. Namun, mereka membunuhnya karena dianggap sesat dan menyesatkan. Mereka lebih percaya ilusi daripada kenyataan.
Ilusi kekuasaan
Kekuasaan selalu hadir dalam wajah ganda ibarat Dewa Janus yang bermuka dua. Ia bisa berwajah domba dan terkadang bermuka serigala.
Dalam debat publik, kita bisa menyaksikan politisi fasih berbicara kemanusiaan, bahkan pada saat mereka gagal membela humanitas. Mereka pandai berteori tentang masyarakat adat meskipun tradisi kampanye telah menerobos sendi- sendi terdasar dari adat dan budaya karena ”politik uang” yang vulgar.
Ada dua kutub bertentangan dalam praksis. Kutub pertama adalah kekuasaan yang berbasis ilusi kaum pragmatis. Mereka memperlakukan kekuasaan sebagai alat pemuasan diri. Pragmatisme menyebabkan segala hal dimaknai dari aspek untung-rugi. Mereka meyakini dan meyakinkan orang bahwa ”itulah hidup yang sesungguhnya”.
Kutub kedua adalah kekuasaan dalam persepsi rakyat yang berbasis pada imajinasi tentang kemaslahatan bersama. Praksis kekuasaan lumrah menampilkan kenyataan paradoksal karena betapa sukarnya orang dalam kekuasaan bersikap bajik. Mereka terpenjara dalam ilusi kekuasaan yang mereka bangun sehingga gagal menjangkau realitas sesungguhnya, yaitu ”menjadi abdi rakyat”.
Eudaimonia adalah istilah Yunani klasik untuk, kurang lebih, menggambarkan kondisi kebahagiaan yang berbasis pada kebajikan dalam diri manusia.
Bagi para filsuf antroposentris di Athena abad IV, seperti Sokrates, Plato, dan Aristoteles, manusia adalah subyek sekaligus obyek sentral dari pencarian pengetahuan.
Mereka juga menyoroti tema etika. Plato dan Aristoteles, misalnya, sepakat manusia hidup untuk mencari kebahagiaan. Orang mencari kebahagiaan dengan jalan kebajikan. Bahkan, tanpa mengenal ilmu kebajikan, kata Sokrates, manusia sulit menemukan kebahagiaan.
Kekuasaan selalu hadir dalam wajah ganda ibarat Dewa Janus yang bermuka dua. Ia bisa berwajah domba dan terkadang bermuka serigala.
Dalam Politeia, Plato juga mengungkap dialog mendalam soal etik antara Sokrates dan dua sarjana Athena, Glaucon dan Adeimantus. Keduanya adalah saudara laki-laki Plato. Dialog itu berlangsung di rumah seorang ahli senjata bernama Chephalus, kakek tua yang hidup di pinggiran kota Athena.
Kita masih ingat, Sokrates juga pun menyinggung perihal thymos sebagai bagian dari jiwa manusia yang merindukan pengakuan, rekognisi. Politik identitas, dalam pandangan ilmiah, berasal dari gerakan dasar jiwa itu (Fukuyama, 2018).
Akan sangat berbeda ketika kita membahas ”politik identitas” dalam konteks pemilu seperti di Indonesia. Ada gerakan yang memakai konsep yang sama dengan makna dan orientasi berbeda. Orang mengeksploitasi simbol kelompok untuk mengejar kekuasaan, bukan memperjuangkan identitas per se.
Pemilu membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Demokrasi pun dibajak. Kedaulatan rakyat digeser oleh kekuatan finansial. Demagog, termasuk pemburu rente dan kelompok vigilante, memperlakukan demokrasi sebagai kuda troya. Maka, kalau rakyat tidak hati-hati, pemilu bisa melahirkan serigala berbulu domba.
Sejatinya, demokrasi lebih dari sekadar perangkat dan aturan. Demokrasi adalah sebuah cara hidup. Maka, meletakkan hasrat moral manusia (baca: rakyat) pada titik paling sentral adalah keutamaan mendasar.
Pemilu sebagai mekanisme mencari pemimpin dianggap ”demokratis” hanya ketika ia mencerminkan kehendak murni rakyat melalui prosedur yang jujur, adil, dan terbuka.
Pengandaian ini efektif hanya ketika: (a) semua pihak yang relevan berlaku fair dan (b) ada kandidasi yang melibatkan deliberasi publik. Artinya, pemilu bebas dari kecurangan dan partai politik menyodorkan kandidat yang selaras dengan kehendak zaman dan pertimbangan orang banyak, bukan yang hanya dimaui oleh segelintir orang kuat (strongmen).
Perbudakan moral
Bahaya terbesar dari pragmatisme kekuasaan adalah menyeret sebanyak-banyaknya orang ke dalam goa Plato. Mereka dibelenggu dan dipaksa meyakini bayangan sebagai kenyataan.
Lucian W Pye (1997) pernah mengkaji politik uang dalam transisi politik di Asia Timur. Kajian serupa juga berkembang di Asia Tenggara (Aspinnal, 2014). Transisi politik yang dibangun di atas politik uang tentu saja potensial membidani kemunculan rezim pragmatis yang bersekutu dengan oligarki atau bahkan melahirkan oligarki baru.
Hari ini, politik uang telah diterima sebagai kenyataan lumrah dalam pemilu. Uang hanya dipandang sebagai sumber daya, bukan malapetaka yang menyebabkan kebutaan batin. Oleh karena itu, menjadi tulus dianggap pilihan yang tidak masuk akal. Itulah bentuk paling vulgar dari perbudakan moral.
Perbudakan moral yang dimaksud adalah kondisi ketertawanan moral di mana niat luhur kesulitan memperoleh pewujudan, persepsi kebaikan mengalami erosi, dan pilihan menjadi orang baik adalah pilihan yang langka dan rawan kesepian.
Dalam kasus tertentu, kita melihat peran orang kaya, kelompok neo-feodal, dan kaum elite otoritarian lebih dominan ketimbang partisipasi rakyat dalam pelaksanaan demokrasi.
Kaum moralis boleh saja berharap epistokrasi terwujud di era modern, di mana pemerintahan dijalankan oleh orang-orang bijak. Akan tetapi, realitas pragmatis paling sering menawarkan kebalikannya, bahwa kekuasaan menawan orang dalam perbudakan moral yang melelahkan.
Pemilu sebagai mekanisme mencari pemimpin dianggap ”demokratis” hanya ketika ia mencerminkan kehendak murni rakyat melalui prosedur yang jujur, adil, dan terbuka.
Refleksi
Rancangan kampanye dalam demokrasi dimaksudkan sebagai mekanisme pencerahan politik. Pencerahan adalah tindakan aktif, bukan kondisi pasif.
Pencerahan mengandaikan adanya aktivitas perpindahan kesadaran dari gelap menuju terang. Dengan kampanye, orang tahu siapa akan melakukan apa ketika memimpin.
Untuk itu, kampanye politik bukan tindakan satu arah, melainkan gerakan dialogis. Ada komunikasi antara calon pemimpin dan rakyat.
Kebanyakan materi dan model kampanye hari ini adalah gerakan satu arah yang mudah direkayasa. Apalagi, dengan hadirnya media digital, orang dengan mudah menyulap wajah dan menghapus jejak masa lalu.
Betul, kehadiran industri politik menawarkan jasa konsultasi yang berorientasi pada pemasaran. Dari aspek prosedural, sah-sah saja konsultan memperlakukan kandidat sebagai produk yang dikemas dengan cantik untuk menutupi borok yang mengerikan.
Namun, dari aspek moral, hal itu memunculkan perdebatan serius. Apakah demokrasi hanya sebatas prosedur? Pada batasan mana prosedur boleh mendominasi esensi dari demokrasi?
Sejauh ini, demokrasi sebagai sistem politik berupaya merawat esensi moral melalui aturan hukum. Hukum memastikan mana yang baik dan mana yang jahat; mana yang layak diperjuangkan dan mana yang pantas dibuang.
Pertanyaannya, apabila hukum kehilangan kepastian, dengan apakah demokrasi memastikan kita bisa keluar dari goa Plato? Wallahualam!
Baca juga : Memilih Apa atau Siapa?
Boni Hargens, Analis Politik