logo Kompas.id
OpiniMalapraktik dalam Penetapan...
Iklan

Malapraktik dalam Penetapan Hasil Pemilu

Malapraktik penetapan hasil pemilu biasanya dipicu perselisihan dan persaingan yang keji di intern partai politik.

Oleh
HENGKI HAYATULLAH
· 5 menit baca
Ilustrasi
KOMPAS/HERYUNANTO

Ilustrasi

Dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) 2019 terjadi kemelut perolehan suara dan penetapan hasil pemilu. Sebab, penetapan calon anggota legislatif terpilih tidak berdasar kepada perolehan suara terbanyak, dipicu adanya pemecatan dan caleg mengundurkan diri. Akankah persoalan yang mengemuka dan berdampak kepada kualitas penyelenggaraan pemilu ini terulang kembali pada Pemilu 2024?

Indonesia menerapkan sistem proporsional dengan daftar calon secara terbuka. Desain sistem pemilihan ini dapat dilihat dalam Pasal 241 Ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mengatur supaya parpol peserta pemilu melaksanakan seleksi terhadap bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara terbuka dan demokratis sesuai Anggara Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan/atau peraturan internal partai.

Atas adanya aturan tersebut diharapkan partai politik mengusung para calon wakil rakyat yang berkualitas, dihasilkan melalui proses rekrutmen yang demokratis. Kemudian, pada Pasal 420 ditegaskan bahwa penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota didasarkan atas perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah pemilihan (dapil), dan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon yang tercantum dalam surat suara.

Baca juga: ”Dunia Hitam” Pasca-pemungutan Suara Pemilu

Penetapan pasangan calon terpilih, penetapan perolehan kursi, dan penetapan calon terpilih dalam Pemilu 2019 diatur dalam Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019. Pada Pasal 32 Ayat (1) huruf c disebutkan bahwa pergantian calon terpilih anggota legislatif dapat dilakukan apabila calon yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat. Kemudian dalam Pasal 32 Ayat (2) huruf c dijelaskan bahwa calon yang tidak lagi memenuhi syarat meliputi calon diberhentikan atau mundur dari partai politik yang mengajukan calon yang bersangkutan.

Ketentuan dalam pasal tersebut tentu menjadi celah bagi partai politik untuk melakukan kebijakan diskresi, yakni ”bebas menentukan” siapa calon yang berhak menduduki kursi partai. Sebab, dalam ketentuan tersebut ada kelonggaran bagi pimpinan partai politik melalui mahkamah partai untuk mencopot keanggotaan bagi calon terpilih ”yang tidak diunggulkan”.

Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, bersama para saksi menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2019 di Gedung Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Wahana Mandiri, Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan, Senin (6/5/2019).
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Petugas Panitia Pemilihan Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, bersama para saksi menyelesaikan rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2019 di Gedung Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Wahana Mandiri, Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan, Senin (6/5/2019).

Malapraktik penetapan hasil pemilu

Menurut (Sarah Birch, 2011) dalam bukunya yang berjudul Electoral Malpractice, malapraktik pemilu merupakan tindakan manipulasi terhadap kerangka hukum peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilu (manipulation of election legal framework). Malapraktik terjadi dengan tujuan untuk mencurangi regulasi atau aturan pemilu sehingga dapat berpengaruh pada penetapan hasil perolehan suara yang dampaknya berpengaruh pada perolehan kursi peserta pemilu dan merugikan pihak tertentu.

Sebagai contoh kasus, dalam penyelenggaraan Pileg 2019, PDI-P Dapil Kalimantan Barat 1 berhak atas dua kursi dari delapan kursi DPR. Adapun urutan perolehan suara tertinggi secara berturut-turut, Cornelis memperoleh 285.797 suara, Alexius Akim memperoleh 38.750 suara, Michael Jeno memperoleh 36.243 suara, Maria Lestari memperoleh 33.006 suara. Meski demikian, ada malapraktik yang merugikan, yakni terjadi pemecatan dan pengunduran diri calon anggota DPR terpilih sebelum ditetapkan sehingga mengubah konfigurasi pengisian legislator.

Dalam rapat pleno penetapan calon terpilih anggota DPR dan DPD yang dilaksanakan pada 31 Agustus 2019, KPU mengabulkan permintaan PDI-P untuk tidak menetapkan dua caleg yang memperoleh suara terbanyak kedua dan terbanyak ketiga di Dapil Kalbar 1 sebagai calon terpilih atas nama Alexius Akim (dipecat) dan Michael Jeno (mengundurkan diri). Otomatis kursi tersebut diberikan kepada caleg yang memperoleh suara terbanyak keempat bernama Maria Lestari.

Malapraktik terjadi dengan tujuan untuk mencurangi regulasi atau aturan pemilu sehingga dapat berpengaruh pada penetapan hasil perolehan suara.

Kasus berikutnya, penggantian caleg terpilih Gerindra dilakukan karena ada gugatan dari sejumlah caleg kepada Gerindra ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Salah satu yang menggugat ialah penyanyi Mulan Jameela. Namun, setelah mencermati putusan PN Jakarta Selatan terkait perkara itu, pertimbangannya justru bertentangan dengan sistem pemilu proporsional terbuka yang diatur dalam UU Pemilu No 7/2017.

Iklan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Mulan Jameela cs karena dalam pertimbangannya, suara Gerindra di Dapil Jabar XI lebih besar daripada suara calon anggota legislatif terpilih. Oleh karena itu, diputuskan bahwa Gerindra punya kewenangan dalam menentukan calon anggota legislatif terpilihnya.

Atas putusan PN Jakarta Selatan itu, Gerindra lantas memecat sejumlah kadernya yang sebenarnya menjadi caleg terpilih. Kursi caleg itu kemudian diberikan kepada Mulan Jameela yang dinyatakan menang di pengadilan. Namun, pemecatan itu bukan perintah putusan pengadilan. Sebab, tak ada satu pun putusan pengadilan yang memerintahkan partai melakukan pemecatan.

Mulan sebelumnya tak dinyatakan lolos ke parlemen, statusnya berubah menjadi caleg terpilih karena menggantikan caleg terpilih yang dipecat partai. Caleg yang dimaksud atas nama Ervin Luthfi yang memperoleh 33.938 suara dan awalnya ditetapkan KPU sebagai satu dari caleg Gerindra terpilih Dapil Jawa Barat XI. Namun, oleh Gerindra, Ervin dipecat sehingga batal duduk di DPR. Kursi Ervin seharusnya jatuh ke Fahrul Rozi yang memperoleh 26.323 suara. Namun, belum sempat duduk di Parlemen, Fahrul pun dipecat dari partai. Akhirnya, dengan perolehan 24.192 suara, Mulan Jameela dinyatakan lolos sebagai caleg terpilih.

Baca juga: Kembali Terulang, Caleg Satu Partai Berebut Kursi Hingga ke MK

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 32 UU No 11/2011 tentang Partai Politik, dijelaskan bahwa perselisihan dalam internal partai politik meliputi antara lain: perselisihan kepengurusan, pelanggaran terhadap hak anggota partai politik, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawaban keuangan, serta keberatan terhadap keputusan parpol, diselesaikan oleh Mahkamah Partai paling lambat dalam waktu 60 hari.

Sementara pada Pasal 33 dijelaskan bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri. Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.

Dalam proses demokrasi, sebuah jabatan politik dan pemerintahan harus melalui arena masyarakat politik, yaitu pertarungan secara terbuka antarkandidat dan partisipasi politik masyarakat sebagai basisnya. Dalam konteks perolehan suara terbanyak partai, masing-masing calon anggota legislatif juga punya keinginan untuk lolos sehingga terjadi persaingan yang ketat. Dari kedua kasus tersebut di atas, justru persaingan yang keji itu terjadi di internal partai politik itu sendiri.

https://cdn-assetd.kompas.id/59FBpYwohDBX6oK6e_UlC7I4_VU=/1024x2136/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F09%2F03%2F20200903-H25-ADI-Penggantian-Calon-mumed_1599149785_png.png

Kepastian hukum

Sebenarnya sudah sangat jelas bahwa dalam sistem proporsional terbuka (open list representation) dalam menentukan caleg terpilih adalah berdasar perolehan suara terbanyak. Berdasarkan desain proporsional terbuka tersebut, parpol seharusnya siap menerima siapa pun caleg terpilih. Sebab, para caleg ini sudah melewati tahap rekrutmen secara demokratis dan terbuka.

Pemilu harus menjamin kemurnian suara, oleh karena itu aspek integritas diperlukan dalam sistem demokrasi. Konsekuensi tidak adanya pemilu yang berintegritas berdampak serius, serta dapat menjadi salah satu alasan ketidak percayaan masyarakat pada pemerintahan yang terpilih. Integritas pemilu sebagai suatu proses penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil dengan mengatasi kecurangan dan malapraktik pemilu, ketidakberesan administrasi, dan pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi di seluruh siklus pemilu, mulai dari periode kampanye sampai penetapan calon terpilih.

Berdasarkan desain proporsional terbuka tersebut, parpol seharusnya siap menerima siapa pun caleg terpilih.

Dalam menaati prinsip keadilan pemilu, pada Pemilu 2024 mendatang, KPU perlu merevisi Pasal 32 Ayat 1 huruf c Peraturan KPU No 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum (Kumara, 2019). Dalam menjamin kepastian hukum, perlu diatur usulan penggantian calon terpilih khususnya bagi calon yang diberhentikan atau mundur dari partai politik yang mengajukan calon yang bersangkutan.

Dalam hal calon diberhentikan keanggotaannya dari partai politik, KPU sesuai tingkatannya dapat memproses usulan penggantian calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota setelah proses pelantikan atau hanya dapat dilakukan melalui mekanisme pergantian antarwaktu (PAW) dan menjamin para pihak yang bersengketa untuk mencari keadilan di mahkamah partai, berlanjut ke Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung. Pengaturan ini bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi calon terpilih.

Henki Hayatullah, Analis Politik Tata Kelola Pemilu Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat

Facebook, Instagram: hengkihayatullah

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan