Rasionalitas Berdemokrasi
Jangan sampai demokrasi dimaknai sebagai tujuan akhir untuk meraih kemenangan atau kekuasaan belaka.
Mengapa dan untuk apa kita memilih pada hajatan politik lima tahunan (pemilu) merupakan pertanyaan ”eksistensial-teleologis” yang harus senantiasa diamplifikasi terus-menerus. Tujuannya, agar bangsa ini tak kehilangan fokus dalam berdemokrasi: menumbuhkan kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jangan sampai demokrasi dimaknai sebagai tujuan akhir untuk meraih kemenangan atau kekuasaan belaka. Bangsa ini harus selalu diingatkan bahwa demokrasi hanyalah target antara dalam rangka mewujudkan tujuan akhir bernegara-berbangsa.
Meski demikian, hiruk-pikuk politik harian sering kali memalingkan para elite kita dari fokus dan tujuan akhir berdemokrasi. Mereka justru lebih banyak bertungkus lumus dengan pemenuhan target antara berdemokrasi: meraih puncak piramida kekuasaan.
Hal ini terjadi lantaran target antara diperlakukan lebih penting ketimbang tujuan akhir berdemokrasi. Tak mengherankan jika segenap energi dan sumber daya dikerahkan para kompetitor elektoral untuk mendaki piramida kekuasaan dengan cara apa pun, termasuk dengan menghalalkan segala cara.
Bangsa ini harus selalu diingatkan bahwa demokrasi hanyalah target antara dalam rangka mewujudkan tujuan akhir bernegara-berbangsa.
Dalam konteks ini, debat capres-cawapres yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diharapkan mampu mendongkrak kualitas demokrasi kita melalui penguatan rasionalitas pemilih. Logikanya, debat merupakan deliberasi publik sebagai ruang artikulasi gagasan yang bisa diakses oleh warga pemilih untuk mengetahui kekuatan-kelemahan gagasan masing-masing dalam memperbaiki negeri ini.
Yang jadi soal, ternyata debat belum menjadi peranti utama sebagai tolok ukur kualitas demokrasi kita. Hal ini dibuktikan dengan bergemingnya pilihan politik warga akibat kelekatan unsur- unsur nonrasional di dalamnya.
Rasionalitas publik
Gagasan tentang rasionalitas publik hanya dimiliki masyarakat yang menjunjung tinggi bangunan konstitusionalisme demokratis. Bentuk dan isi dari rasionalitas ini adalah bagian dari gagasan demokrasi itu sendiri. Ini karena karakter dasar dari demokrasi adalah fakta pluralisme yang masuk akal dan faktual.
Gagasan tentang rasionalitas publik menyangkut nilai-nilai moral dan politik yang digunakan sebagai pijakan untuk mendefinisikan pola relasi pemerintahan demokratis dengan rakyat dan di antara mereka sendiri. Pendek kata, rasionalitas publik menyangkut bagaimana relasi politik di antara warga masyarakat dipahami secara baik, benar, dan konstitusional.
Menurut Jawn Rawls dalam artikelnya, ”The Idea of Public Reason Revisited” (1997: 767), rasionalitas publik memiliki lima aspek berikut; 1) pertanyaan-pertanyaan politik fundamental yang berlaku dalam sistem demokrasi; 2) orang-orang yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu (pejabat pemerintah dan para kandidat pejabat publik).
Lalu; 3) isi atau pesan yang disampaikan warga negara tentang konsepsi politik yang berkeadilan, rasional, dan demokratis; 4) penerapan konsepsi ini dalam diskursus tentang norma-norma koersif yang diterapkan dalam bentuk hukum konstitusional bagi masyarakat demokratis. Juga, 5) pengecekan warga masyarakat untuk memastikan bahwa masukan dan kritik mereka direspons baik oleh para pengambil kebijakan.
Dalam sebuah sistem politik demokrasi, rasionalitas publik ditunjukkan oleh kualitas argumentasi tentang bangunan kesejaht eraan umum (public goods) yang berkeadilan, rasional, dan konstitusional. Kualitas rasional argumentasi ditentukan bukan oleh doktrin keagamaan ataupun aspek-aspek primordial lain, melainkan oleh kemasukakalan sebuah kebijakan yang jika diundangkan akan menjadi norma hukum yang bersifat mengikat dan koersif.
Sepanjang mampu ditundukkan di bawah norma kepublikan (publicness), doktrin keagamaan dan argumentasi primordial sebenarnya bisa masuk ke dalam ruang-ruang demokrasi deliberatif.
Pada akhirnya, terdapat tolok ukur rasionalitas publik yang harus menjadi pertimbangan dalam proses politik demokrasi deliberatif. Pertama, asas kemanfaatan yang bisa menjangkau sebanyak mungkin kepentingan warga negara, tidak hanya dinikmati segelintir kelompok tertentu.
Dalam sistem politik demokrasi mapan, kualitas pilihan seseorang ditentukan oleh kekuatan argumentasi yang mendasari pilihan politiknya.
Kedua, asas imparsialitas dan anonimitas dalam pemanfaatan segala produk politik dan hukum yang dihasilkan. Begitu sudah jadi norma hukum, sebuah produk politik harus bisa diterima dan dijalankan semua pihak. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas proses agar sebuah produk politik memiliki legitimasi demokratis yang memadai secara publik (Rosanvallon, 2011).
Rasionalitas pemilih
Dalam konteks demokrasi elektoral, perilaku memilih jelas meniscayakan kecerdasan yang dalam terminologi ilmu politik disebut sebagai kompetensi pemilih (Ashworth dan De Mesquita, 2014). Dalam sistem politik demokrasi mapan, kualitas pilihan seseorang ditentukan oleh kekuatan argumentasi yang mendasari pilihan politiknya.
Memilih bukan sekadar dorongan afektif, primordial, terlebih asal-asalan. Memilih adalah perilaku normatif berbasis kesadaran nurani dan akal budi tentang baik-buruknya sebuah keputusan. Intinya, memilih harus berpijak pada lapisan argumentasi yang kompleks dan ”terdidik” tentang kualitas sebuah keputusan. Oleh karena itu, seorang pemilih pasti mengetahui risiko pilihannya, baik dalam skala individual maupun sosial.
Keuntungan elektoral yang akan diraih tidak hanya membawa pada kondisi kenyamanan individu yang bersangkutan, tetapi pada nasib kolektivitas sebuah masyarakat. Berbagai macam risiko pilihan yang tak dimitigasi dengan baik akan memunculkan dilema demokrasi (democratic dilemma) ,yakni ketidaksinkronan antara tuntutan dan persyaratan demokrasi dan kemampuan pemilih memenuhi tuntutan dan persyaratan itu (Lupia dan McCubbins, 1998).
Meminjam Max Weber dalam Theory of Social and Economic Organization (1964: 115), orientasi tindakan seseorang didorong oleh empat jenis rasionalitas.
Dua rasionalitas pertama tergolong sederhana atau tak kompleks: rasionalitas afektual dan tradisional. Jika rasionalitas afektual didasari oleh aspek perasaan dalam pengambilan keputusan, maka rasionalitas tradisional lebih didasari bimbingan tradisi (ideologi, agama, dan semacamnya). Tak ada penjelasan argumentatif yang kompleks mengapa seseorang menjatuhkan pilihan pada pasangan capres-cawapres X, misalnya.
Sementara itu, dua rasionalitas lainnya (rasionalitas nilai dan instrumental) tergolong lebih argumentatif, kalkulatif, dan kompleks. Meski demikian, ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Rasionalitas nilai lebih didasarkan pada pertimbangan normatif yang bersifat intangible, universalitas nilai, dan nirkepentingan jangka pendek.
Sementara itu, rasionalitas instrumental didasari oleh kalkulasi untung-rugi atas pilihannya. Boleh jadi pertimbangan utama dari rasionalitas instrumental adalah hal-hal yang bersifat tangible atau material-based (kepentingan jangka pendek, seperti materi dan kekuasaan).
Dalam lanskap politik elektoral di Indonesia, harus diakui, basis pilihan warga masih berkisar pada dua rasionalitas pertama, yakni mereka memilih karena dorongan ideologi, agama, atau afektif semata. Sementara itu, dua rasionalitas lainnya masih terbatas pada kaum terdidik, elite politik, dan tim sukses setiap calon. Jika kita menginginkan semakin menyempitnya jurang kesenjangan antara demokrasi elektoral dan kesejahteraan umum, tidak ada pilihan lain kecuali menaikkan level rasionalitas pemilih dari dua rasionalitas pertama ke dua rasionalitas berikutnya.
Rasionalitas debat
Secara normatif, debat capres memiliki fungsi strategis dalam rangka mendekatkan jurang kesenjangan antara demokrasi elektoral dan kesejahteraan umum (McGann, 2006). Lebih tepatnya, debat diharapkan mampu meningkatkan level rasionalitas pemilih melalui proses induksi kognitif di kalangan pemilih terhadap jual-beli gagasan di kalangan kontestan pemilu.
Melalui proses deliberasi gagasan di panggung demokrasi elektoral, pemilih dapat menimbang, merefleksi, dan menjatuhkan pilihan pada kandidat X atau Y berdasarkan kekuatan rasionalitasnya.
Idealnya, debat capres mestinya mampu menaikkan level rasionalitas pemilih ke dua rasionalitas yang lain, yakni rasionalitas nilai dan instrumental.
Kenyataannya, debat belum mampu menaikkan level kualitas pilihan rasional pemilih. Kebanyakan pemilih bergeming dengan keteguhan pilihannya (entah karena rasionalitas afektual ataupun tradisional). Artinya, kebanyakan mereka decided voters yang tak akan mengubah pilihannya hingga hari-H pencoblosan.
Apa pun pesona gagasan yang ditawarkan pasangan capres-cawapres di luar pilihannya tidak akan menggoyahkan keteguhan pilihan yang sudah diambil. Idealnya, debat capres mestinya mampu menaikkan level rasionalitas pemilih ke dua rasionalitas yang lain, yakni rasionalitas nilai dan instrumental.
Tentu saja, rendahnya kualitas pilihan warga tidak bisa dijadikan kambing hitam di balik rendahnya kualitas demokrasi kita. Dalam derajat tertentu, kaum elite yang terlibat dalam kontestasi elektoral juga punya andil di balik rendahnya kualitas pilihan warga.
Apa yang dipertontonkan di atas panggung debat sering kali hanya berisi untaian kalimat atau janji-janji manis yang tidak terealisasi ketika mereka menjabat. Sebaliknya, pasangan yang tidak mampu menghasilkan kampanye verbal yang baik, retoris, dan persuasif tak jarang justru mampu bekerja dengan baik ketika mereka terpilih.
Baca juga : Efek Debat Calon Presiden
Masdar Hilmy, Guru Besar; Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya; Dewan Penasihat ISNU Jawa Timur