”Carbon Capture” dan ”Carbon Storage” di Mata Capres dan Cawapres
Pemerintah dan DPR harus hati-hati dalam merumuskan regulasi CCUS karena berbahaya bagi pelestarian lingkungan hidup.
Tiada hujan tiada angin, tiba-tiba terminologi ”carbon capture” dan ”carbon storage” ramai diperbincangkan di warung kopi. Hal itu karena topik ini dipertanyakan oleh calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka kepada calon wakil presiden Moh Mahfud MD dalam debat calon wakil presiden pada 22 Desember 2023 malam.
Gibran Rakabuming Raka menanyakan ”bagaimana regulasi untuk carbon capture and storage?” walaupun masalah carbon capture dan carbon storage tersebut tidak ada dalam visi-misi semua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berlaga di Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024.
Sebelum membahas esensi dari maksud pertanyaan tersebut, sebaiknya kita paham dulu apa itu carbon capture (penangkapan karbon) dan carbon storage (penyimpanan karbon).
Dalam ilmu tentang mitigasi (mitigation) emisi gas rumah kaca (green house gases) di atmosfer, para industrialis fossil fuels (bahan bakar fosil), seperti minyak bumi (oil), batubara (coal), dan gas alam (natural gas) —sering disebut sebagai sumber energi tidak terbarukan (nonrenewable energy)— sangat getol ”menjual” teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS technology) atau teknologi penangkapan, pemakaian, dan penyimpanan karbon.
Jadi, secara umum, CCUS adalah teknologi yang merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang diawali dengan pemisahan, pemanfaatan, dan penangkapan karbon dari sumber emisi, pemanfaatan dan pengangkutan karbon yang tertangkap sampai dengan penyimpanan ke tempat yang aman.
Pertanyaan yang lebih penting untuk diajukan dalam diskursus publik, termasuk dalam debat capres dan cawapres, adalah pertanyaan berikut.
Yakni: (i) apakah teknologi CCUS ini dapat memitigasi secara signifikan kadar emisi karbon (CO2) di atmosfer atau tidak?; (ii) apakah teknologi CCUS aman bagi lingkungan dan masyarakat?; (iii) apakah Indonesia perlu mengadopsi atau menolak teknologi CCUS?
Setelah kita menjawab ketiga pertanyaan fundamental tersebut, baru kita menanyakan bagaimana mengatur teknologi CCUS dalam hukum nasional kita? Oleh karena itu, pertanyaan yang harus dijawab oleh para capres dan cawapres adalah keempat pertanyaan di atas agar tidak melompat dan salah langkah dalam mengatur pemanfaatan teknologi CCUS di Indonesia.
Oleh karena itu, pertanyaan yang harus dijawab oleh para capres dan cawapres adalah keempat pertanyaan di atas agar tidak melompat dan salah langkah dalam mengatur pemanfaatan teknologi CCUS di Indonesia.
Manfaat dan mudarat
Sebelum kita menjelaskan manfaat dan mudarat CCUS, sebaiknya penulis mengingatkan bahwa CCUS adalah bukan teknologi baru. Teknologi ini telah ada sejak tahun 1970-an.
Pada tahun 1970-an, teknologi ini disebut enhanced oil recovery (peningkatan pendapatan minyak bumi) dengan menyuntikkan CO2 ke dalam reservoir minyak dan gas yang kosong untuk mengambil hidrokarbon yang tersisa.
Jadi, asbabun nuzul (asal muasal) dari teknologi ini tidak ditujukan untuk menangkap dan menyimpan karbon dari emisi CO2, tetapi untuk meningkatkan pendapatan ekstraksi minyak dan gas.
Oleh karena itu, jangan kaget jika para pengusung dan penjual teknologi CCUS adalah para konglomerat besar minyak, gas, dan batubara karena mereka ingin tetap beroperasi dengan model business as usual sambil mengklaim bahwa emisi dari bahan bakar fosil yang mereka hasilkan dapat ditangkap, dimanfaatkan, dan disimpan sehingga mereka dapat tetap beroperasi tanpa hambatan.
Para penjual teknologi ini bahkan berani mengklaim bahwa CCUS memiliki keberhasilan sampai dengan 90 persen, tetapi dari sejumlah pilot projects di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia, keberhasilan mereka sangat rendah.
Menurut laporan di New Scientist, mayoritas proyek CCUS gagal atau menghasilkan penangkapan karbon yang lebih kecil dari yang diharapkan (Adam Vaughan, Most Major Carbon Capture and Storage Projects Haven’t Met Targets, 1 September 2022).
Selanjutnya, Bruce Robertson mengatakan bahwa ”penangkapan karbon memiliki sejarah kegagalan yang panjang (carbon capture has a long history of failure) (Bulletin of the Atomic Scientists, 1 September 2022).
Artikel ilmiah terbaru yang ditulis oleh Dongmin Xi dkk bahkan lebih menakutkan lagi karena mengungkapkan banyak sekali terjadi kecelakaan dalam perpipaan CO2.
”Carbon dioxide pipelines: A statistical analysis of historical accidents” yang dimuat di Journal of Loss Prevention in the Process Industries (Vol 84, September 2023) melaporkan bahwa banyak sekali kecelakaan dalam proses perpipaan carbon capture and storage.
Oleh karena itu, setelah membaca manfaat dan mudarat dari berbagai sumber, penulis berani menyimpulkan bahwa teknologi CCUS perlu dipikirkan dan direnungkan kembali sebelum dimanfaatkan sebagai alat untuk mengurangi emisi CO2 di Indonesia.
Regulasi CCUS di Indonesia
Indonesia sebagai negara yang menandatangani dan meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework on Climate Change Conference/UNFCCC), Protokol Kyoto (Kyoto Protocol), dan Kesepakatan Paris (Paris Agreement) memiliki kewajiban untuk bersungguh-sungguh mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari berbagai sumber di Indonesia.
Meski demikian, pilihan teknologi dan strategi yang dipakai harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kemanfaatan yang ingin diraih oleh Indonesia. Perlu diingat bahwa kata-kata CCUS tidak ditemukan dalam teks UNFCCC, Protokol Kyoto, dan Kesepakatan Paris sehingga secara hukum Indonesia tidak terikat untuk menerapkan teknologi CCUS.
Kata-kata CCUS hanya dapat dilihat dalam beberapa dokumen yang dihasilkan oleh Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/COP) dari UNFCCC. COP 27 di Sharm El Sheikh, Mesir, misalnya, menyampaikan untuk mengeksplorasi teknologi penurunan emisi CO2 yang salah satunya dengan CCUS.
Di samping itu, dalam COP 28 yang baru saja berakhir di Dubai, Uni Emirat Arab, ada satu kalimat yang menempatkan CCUS sebagai salah satu cara, tetapi tidak pernah menjadi ”menu utama” dalam upaya penurunan emisi CO2.
Karena itu, pemerintah dan DPR harus hati-hati dalam merumuskan regulasi CCUS karena di banyak negara terbukti tak efektif dan bahkan berbahaya bagi perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup.
Karena itu, pemerintah dan DPR harus hati-hati dalam merumuskan regulasi CCUS karena di banyak negara terbukti tak efektif dan bahkan berbahaya bagi perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup.
Perlu penulis sampaikan bahwa teknologi CCUS juga tak dikenal dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup, UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dan UU Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.
CCUS juga tidak ditemukan dalam dokumen Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Enhanced Nationally Determined Contribution/ENDC) 2022 Republik Indonesia.
Satu-satunya aturan tentang CCUS yang dapat dirujuk adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penyelenggaraan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon, serta Penangkapan, Pemanfaatan, dan Penyimpanan Karbon pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Anehnya, Permen ESDM No 2/2023 ini tak merujuk pada UU Lingkungan Hidup dan ENDC, tetapi hanya mengkhususkan diri pada penyimpanan karbon usaha minyak dan gas bumi dan tak mencakup emisi karbon yang lain.
Permen ESDM No 2/2023 yang terdiri dari sepuluh bab dan 61 pasal ini hanya menekankan pengaturan dan proses CCUS, tetapi sayangnya tidak mensyaratkan adanya kewajiban analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) untuk proyek CCUS.
Permen ESDM No 2/2023 ini juga hanya menyiapkan sanksi administrasi: peringatan tertulis dan penghentian sementara (Pasal 56-57), padahal proyek CCUS dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, bahaya terhadap manusia, kerusakan sumber daya, serta peralatan dan instalasi (Pasal 23 Ayat 2).
Selanjutnya, Pasal 46 menyiapkan kemungkinan tanggap darurat atas keselamatan manusia, lingkungan, dan keselamatan umum karena disadari bahwa CCUS adalah teknologi yang memiliki risiko keselamatan. Meski demikian, karena hanya diatur pada tingkat peraturan menteri, maka tidak ada sanksi pidana, padahal kemungkinan untuk menimbulkan kerusakan sangat tinggi.
Menyadari akan ketidaksempurnaan dari Permen ESDM No 2/2023, sebaiknya para capres dan cawapres menyadari dengan saksama bahwa upaya penurunan gas emisi rumah kaca di Indonesia harus diatur secara komprehensif dalam bentuk undang-undang atau serendah-rendahnya dengan peraturan pemerintah, tidak hanya diatur secara parsial melalui regulasi carbon capture dan carbon storage yang belum terbukti manfaatnya.
Laode M Syarif Direktur Eksekutif Kemitraan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin