Budaya Politisasi Kasus
Politisasi kasus hukum kerap dipakai narasi kampanye. Meski menarik perhatian publik, ini bisa menjurus kampanye hitam.
Semakin hangatnya situasi politik menjelang Pemilu 2024 tidak dapat dilepaskan dari faktor dimainkannya isu hukum dalam percakapan politik yang dilakukan para politisi, baik yang berlatar belakang partai maupun profesional. Ruang publik pun ramai dengan ingar bingar berbagai isu hukum yang sengaja dilemparkan ke publik untuk menyudutkan aktor tertentu.
Budaya politisasi kasus sepertinya memang merupakan bagian dari strategi kampanye negatif yang dimiliki setiap kubu pasangan calon untuk melemahkan pesaingnya. Dalam satu kontestasi, hal itu sudah pasti terjadi. Namun, apabila menyangkut penggunaan satu kasus permasalahan hukum yang menyerang karakter pribadi, sebaiknya ini penting dikaji untuk dilakukan pembatasan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tujuannya agar kampanye negatif yang kontennya kasus hukum tidak berubah menjadi kampanye hitam.
Sudah jelas ketika berbicara kasus hukum, itu merupakan spesifik ranah institusi lembaga penegak hukum, di mana salah satu asas dalam proses hukum menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah. Sepanjang belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, maka seseorang tersebut tidak dapat dianggap bersalah, apalagi dihakimi. Oleh karena itu, sangat mungkin suatu kampanye negatif yang isinya adalah suatu perkara hukum berpotensi menjadi bentuk kampanye hitam yang justru menjadi permasalahan hukum berupa penyebaran berita bohong atau fitnah.
Baca juga: Kampanye dan Kejahatan Berbahasa
Kampanye merupakan strategi komunikasi politik yang dilakukan para politisi kepada rakyat agar mendapat dukungan suara. Banyak bentuk kampanye, mulai dari penyampaian gagasan visi dan misi serta program-program unggulan untuk rakyat hingga pertunjukan hiburan seni dan membicarakan keburukan-keburukan lawan politik.
Tidak heran politisasi kasus kerap dipakai sebagai narasi dalam kampanye untuk menunjukkan keunggulan pihaknya di satu sisi dan kelemahan pihak yang lainnya di sisi lain. Selain menunjukkan keunggulan pihak yang berbicara kasus hukum pihak lain, maka terkesan pasangan calon tersebut adalah figur yang berani dan kritis. Selain biaya yang tidak begitu besar, politisasi kasus hukum juga mudah menarik perhatian publik.
Konten kampanye negatif berupa isu hukum sahih untuk dimainkan para juru debat atau politisi dan tidak berisiko menjadi masalah hukum fitnah dan pencemaran nama baik ketika yang dibahas adalah perkara hukum yang sudah diputuskan oleh pengadilan dan yang berkekuatan hukum tetap. Di luar batasan ini, kampanye yang mengangkat isu kasus hukum cenderung menjurus menjadi kampanye hitam yang bertendensi menyerang kepribadian, bahkan merusak karakter lawan politik.
Batasan-batasan yang jelas ini sangat penting agar kampanye yang berbentuk debat atau rapat-rapat umum tetap berhasil mencapai tujuannya. Yaitu, sebagai wujud pesta demokrasi yang penuh dengan konsepsi mewujudkan tujuan kemerdekaan melalui suatu pemerintahan yang berasal dari rakyat melalui hasil pemilihan umum yang berintegritas.
Selain berpotensi menjadi permasalahan hukum, budaya politisasi kasus memperlihatkan adanya sisi gelap dan rapuh dari pribadi para pelakunya. Ini karena mereka tidak sejak awal bereaksi alias berterus terang menyatakan pendapatnya atau melaporkan permasalahan yang dialaminya ketika suatu peristiwa tersebut sedang atau baru saja dialaminya.
Bentuk narasi kampanye politisasi kasus hukum ini sangat mudah merambat ke masyarakat luas dan sangat mungkin diterima sebagai suatu kebenaran.
Pengungkapan peristiwa yang dialaminya di hari yang lalu setelah sekian lama tentu mengundang sejumlah keraguan publik tentang orientasi kepentingan menyampaikan suatu peristiwa yang sudah lama berlalu, sebab bukan hal yang mudah mencari kebenaran tentang suatu peristiwa yang telah terjadi bertahun-tahun lalu. Apalagi, pengungkapan suatu peristiwa hukum yang dialaminya itu hanya disampaikan kepada publik melalui media, bukan dilaporkan ke penegak hukum.
Tidak heran apabila pengungkapan kasus ini dapat dengan mudah ditebak arah dan motifnya hanya sebagai narasi penyudutan pihak-pihak tertentu semata. Meskipun begitu, bentuk narasi kampanye politisasi kasus hukum ini sangat mudah merambat ke masyarakat luas dan sangat mungkin diterima sebagai suatu kebenaran, dan celakanya terus menjalar menjadi suatu persepsi publik yang diyakini telah dilakukan oleh aktor politik yang disasar.
Ini karena minat publik sangat luas dengan pemberitaan yang berisi skandal seperti terungkap dalam kalimat bad news is a good news. Sedemikian destruktifnya narasi politisasi kasus hukum sehingga sebenarnya tidak akan dilakukan oleh pihak yang memiliki integritas dan mengacu kepada nilai-nilai masyarakat beradab yang menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran.
Membangun kesadaran
Kampanye hitam berupa tuduhan yang bersifat fitnah merupakan bagian dari fakta empirik yang selalu terjadi di setiap pemilu. Apabila kembali ke tahun 2014, saat itu ada tabloid Obor Rakyat yang menjadi sarana penyebaran berita bohong untuk mendiskreditkan dan menimbulkan antipati masyarakat kepada calon tertentu. Untungnya, terhadap pelaku diganjar hukuman melalui suatu putusan pengadilan.
Kejadian serupa sangat terbuka untuk terjadi kembali dengan menggunakan instrumen yang lebih canggih, yakni platform media digital dan sosial media. Jajaran penegakan hukum terpadu (gakkumdu), yakni Bawaslu, kejaksaan, dan Polri, diharapkan sudah memiliki formula pengawasan dan penindakan pelaku penyebaran berita bohong melalui media elektronik.
Penyelenggara pemilu sudah mengupayakan agar tahapan proses pemilu berjalan dengan damai dan luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia) sesuai amanah konstitusi. Ini dilakukan melalui penyelenggaraan berbagai acara deklarasi pemilu damai dan sebagainya yang diikuti seluruh pihak yang terlibat dalam pemilu.
Baca juga: Kampanye Pemilu yang Berkualitas
Walaupun kegiatan tersebut diperlukan sebagai simbolisasi kesadaran seluruh peserta pemilu untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas dan damai, sebaiknya tidak berhenti sampai di situ. Penanaman kesadaran terhadap aturan kepemiluan dan etika harus terus-menerus dilakukan melalui sosialisasi khususnya oleh peserta pemilu, baik partai politik maupun para calon legislatif ataupun eksekutif, hingga ke jajaran sukarelawan dan tim pemenangan pasangan calon.
Membangun kesadaran bertujuan agar kampanye dan debat dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan kepemiluan dan didominasi oleh kampanye positif yang isinya adalah gagasan-gagasan dari setiap calon untuk meraih dukungan dan simpati pemilih. Model ini sangat aman bagi pemilih sebab pilihannya diberikan atas dasar kepercayaan terhadap rekam jejak calon dan gagasannya. Dalam dukungan dari pemilih yang diraih dari hasil kampanye negatif pada dasarnya tidak didasari oleh hubungan kuat yang bersifat ideologis antara calon dan pemilihnya karena dilandasi oleh pertimbangan subyektif berupa ketidaksukaan dengan calon lain dengan slogan ABD, Asal Bukan Dia.
Politisasi kasus merupakan bentuk kampanye yang sering digunakan dalam setiap pemilu untuk menarik perhatian dan dukungan dari masyarakat. Oleh karena itu, penggunaan isu hukum yang menyerang individu dalam kampanye penting untuk diawasi dan diberikan penanganan terhadap pelanggaran berbentuk kampanye hitam dari gakkumdu yang responsif sangat diperlukan guna menjaga kualitas Pemilu 2024. Pemilu yang sehat dan sejuk diharapkan meningkatkan partisipasi pemilih untuk menggunakan hak suaranya di hari pemilihan agar lahir pemimpin nasional yang berintegritas dan mendapat dukungan luas dari rakyat.
Ruben Sandi Yoga Utama Panggabean, Advokat; Mahasiswa Program Doktor Hukum Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU)
Facebook: ruben panggabean