logo Kompas.id
β€Ί
Opiniβ€ΊBudaya Malu
Iklan

Budaya Malu

Budaya malu belum tersemai dengan baik dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita sebagai bagian dari pertanggungjawaban etika dan moral.

Oleh
BUDI SARTONO SOETIARDJO
Β· 1 menit baca
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie dalam sidang pengucapan putusan dugaan pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11/2023). Jimly didampingi anggota MKMK, Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih.
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie dalam sidang pengucapan putusan dugaan pelanggaran etik hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/11/2023). Jimly didampingi anggota MKMK, Wahiduddin Adams dan Bintan Saragih.

Seorang mantan hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan, shame culture atau budaya malu di lingkungan korps sejawatnya telah hilang. Dia mengatakan hal itu setelah keluarnya putusan Majelis Kehormatan MK, Selasa (7/11/2023), yang memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK.

Budaya malu di beberapa negara Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan dengan peradaban yang relatif modern, tumbuh alami di masyarakatnya sebagai bentuk pertanggungjawaban moral dan etika ketika gagal menunaikan suatu misi atau tugas profesional. Budaya malu sudah menjadi semacam habit masyarakat, yang menyatu dalam kehidupan pekerjaan dan profesi.

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan