Bahasa
Capai, Cape, Capek
Ada pergeseran dari ”capai”, ”cape”, ke ”capek”. Walhasil, ”capek” telanjur menjadi bahasa publik. Perubahan tersebut tak terlepas dari kepungan pengaruh dunia digital.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F07%2Faf6ead08-38f9-45f2-815f-d7bce4c68e13_jpg.jpg)
Warga membuka ponsel pintarnya saat praktik dalam pelatihan pemasaran produk melalui media sosial di Desa Pagutan, Kecamatan Batukliang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Jumat (7/7/2023).
Algoritma media digital terus membentuk watak para penggunanya. Algoritma itu menghubungkan kumpulan identitas dengan berbagai latar belakang. Akademisi Indonesia yang mengajar di Universitas Carleton, Kanada, Merlyna Lim (2021), menyebut konten di media digital bersifat superlatif.
Pengguna mudah menjumpai konten, mulai paling lucu, paling menyedihkan, paling konyol, paling nyinyir, hingga paling rasis. Media digital tak lepas memberi pengaruh pada perubahan bahasa. Bahasa Indonesia tentu ingin mendapat tempat dalam interaksi yang muncul.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 5 dengan judul "Capai, Cape, Capek".
Baca Epaper Kompas