logo Kompas.id
OpiniWTO, ”Overfishing”, dan...
Iklan

WTO, ”Overfishing”, dan Pendisiplinan Subsidi Perikanan

Sebelum meratifikasi kesepakatan subsidi perikanan WTO diperlukan strategi yang bijaksana untuk menyeimbangkan kepentingan lokal, global, dan kelestarian sumber daya laut.

Oleh
IRVAN MAULANA
· 0 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/WQbkfMmWscy47wbKRqPkL8MbgvY=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F08%2F20%2F05153f17-6d6a-4fc7-9a44-54f015579c0c_jpg.jpg

Setelah dua dekade larut dalam negosiasi panjang, kesepakatan penghapusan subsidi yang mendorong penangkapan ikan berlebihan (overfishing) dan mengancam keberlanjutan stok ikan mulai mendekati mufakat. Pada Konferensi Tingkat Menteri ke-12 (MC12) Juni 2022, WTO mengadopsi kesepakatan subsidi perikanan (Fisheries Subsidies Agreement/FSA) yang perlu diratifikasi oleh dua pertiga dari 164 anggota WTO agar bisa diimplementasikan. Sejak awal 2023, tercatat sudah 14 negara termasuk China, Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat secara resmi menerima kesepakatan tersebut (wto.org, 2023).

Meskipun dianggap sebagai langkah maju, kesepakatan ini menuai kritik karena dianggap tidak komprehensif menghentikan overfishing. Berdasarkan model ekonomi politik standar dan model perikanan Schaefer, terdapat tiga tantangan utama terkait pendisiplinan subsidi perikanan. Pertama, perikanan merupakan sumber daya terbarukan dengan batasan alamiah sehingga subsidi yang tidak terkendali dapat menyebabkan penangkapan berlebihan dan merugikan industri perikanan.

Editor:
YOVITA ARIKA
Bagikan