Pancasila dan Lingkungan Hidup
Krisis perubahan iklim sering kali diabaikan dalam pendidikan Pancasila. Jika Pancasila masih dianggap sebagai pandangan hidup, sudah sewajarnya kita memikirkan ulang kehidupan seperti apa yang akan diwujudkan bersama.
![Ilustrasi](https://cdn-assetd.kompas.id/KHizh6xuVVJw1VWr2NZqaboashk=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F06%2F17%2Fb1720850-7636-4767-a80c-a9f518972d73_jpg.jpg)
Ilustrasi
Pemikir Pancasila terdahulu, mulai dari Driyarkara sampai Notonagoro, cenderung memiliki penafsiran yang bercorak antroposentris (manusia sebagai pusat) terhadap Pancasila. Driyarkara (1959) menekankan Pancasila dalam muatan hubungan ontologis atas keberadaan manusia dengan semesta realitas alam dan Tuhan-nya.
Sementara, Notonagoro (1975) menyoal landasan Pancasila yang tersusun dalam sifat dan kodrat kemanusiaan sebagai monodualis yang tidak dapat terpisahkan. Pancasila, artinya, selalu memuat sifat abstrak-umum-universal yang secara obyektif dapat dijelaskan dalam nilai-nilai turunan atau tata urutan tiap sila-nya, secara hierarkis piramidal.