Hukum untuk Memenangkan ”Orang Kalah”
Hukum tak sama dengan peraturan, apalagi sekadar alat menghukum. Bahkan, dalam konsepsi awalnya, hukum adalah soal hak asasi manusia. Namun, kita sering salah kaprah, menganggap hukum semata soal hukum dan izin.
”Orang Kalah” adalah sebuah kenyataan. Mereka sering kali ditulis sebagai lirik lagu, misalnya oleh Iwan Fals pada 2012, serta judul buku dan cerita. Nyatanya, orang kalah selalu ada dalam hukum. Karena dalam bermasyarakat, selalu ada kelompok orang yang posisinya selalu dikalahkan oleh hukum, atas nama kepentingan umum. Orang miskin, kelompok difabel, minoritas agama, dan kelompok mana pun yang dianggap tidak ”umum” oleh hukum, seperti orang-orang yang orientasi seksual dan ekspresi jendernya berbeda, sering kali tak dihitung ketika hukum dibuat. Padahal hukum berdampak berbeda pada situasi sosial yang berbeda. Pembuat dan penegak hukum tidak boleh menyederhanakan makna equality before the law dengan menganggap semua orang sama secara fisik, mental, dan sosial. Kesamaan di muka hukum juga harus dimaknai sebagai tugas hukum untuk membangun kesetaraan.
Ada kelompok orang yang memang akan selalu dikalahkan karena hukum bekerja dalam ranah formal, yang mensyaratkan status hukum dan dokumentasi. Misalnya, masyarakat adat yang senyatanya hidup dan mengelola kehidupan dari tanah yang mereka tinggali dianggap tidak eksis secara hukum dan diusir ketika sertifikat tanah dimiliki oleh perusahaan besar. Atau kelompok miskin kota yang eksistensinya dianggap lebih rendah daripada koruptor karena meninggali sepetak tanah di kota tanpa izin.