Nahdlatul Ulama
NU dan Fikih Kewarganegaraan
Ketimbang menyebut non-Muslim sebagai ”kafir”, NU mengusulkan istilah Muwathinun, yaitu warga negara. Menurut NU, penggunaan istilah ”kafir” kepada sesama non-Muslim mengandung unsur kekerasan teologis.

Ilustrasi
Menjelang kick-off satu abad Nahdlatul Ulama, 15-16 Oktober lalu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah menyelenggarakan halaqah kebangsaan di 250 titik pesantren di seluruh Indonesia. Tema halaqah tersebut bervariasi: fikih siyasah (politik), fikih negara-bangsa, fikih kewarga-(negara)-an, dan fikih minoritas.
Tema ini sengaja diambil untuk mengeksplorasi dan merekontekstualisasikan khazanah pemikiran pesantren tentang tema dimaksud dalam rangka mengokohkan relevansi dan signifikansi NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 6 dengan judul "NU dan Fikih Kewarganegaraan".
Baca Epaper Kompas