Jerit Harap Mereka Lepas dari Jerat Kemiskinan
David dan Juhariah, dua penjual kecil di Bandung, mewakili wajah kemiskinan di Indonesia.
Jerat kemiskinan membuat David Cahaya Rizki (24), warga Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, mengabaikan gengsi dan rasa malunya. Selasa (30/1/2024), pria beranak satu dengan kaus lusuh itu nekat menerobos kerumunan rombongan pria berbaju necis di area parkir Kafe Fella, Kota Bandung. Tujuannya bukan untuk foto bersama. Penjual keset ini hanya ingin barang jualannya dibeli.
”Saya sudah lihat ada ramai-ramai di sana. Bahkan, ada polisi yang jaga. Pasti yang datang orang penting. Jadi, sengaja saya tunggu saja di sini. Ternyata benar. Di sana ada Pak Emil. Saya suka lihat di televisi,” kata David, membanggakan metode pemantauan hasil lima tahun berjualan keset keliling.
Emil adalah sapaan akrab Ridwan Kamil, eks Gubernur Jabar. Hanya pengamatan David tidak lengkap. Keramaian itu bukan milik Emil. Ada Gibran Rakabuming Raka, calon wakil presiden nomor urut 2, yang punya hajat berdialog dengan peserta lainnya.
Tidak ingin kehilangan momen berjualan, langkah kaki David cepat menuju kerumunan itu. Emil menjadi sosok yang ia tuju. ”Saya nekat aja jalan ke arah Pak Emil lalu menawarkan dagangan. Saya tahu beberapa orang melihat saya, tapi saya sudah tidak peduli. Dagangan belum ada yang beli,” ujar David saat kembali ditemui Kompas pada Sabtu (10/2).
Baca juga: Menanti Pemerintah ”Buka-bukaan” Data Kemiskinan yang Sebenarnya
Calon Wakil Presiden nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka meninggalkan Kafe Fella di Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (30/1/2024) dengan sepeda motor. Di hari itu, dia mengunjungi sejumlah tempat di Kota Bandung untuk mendengarkan aspirasi kaum muda, mulai dari penggiat industri digital hingga UMKM.
Kali ini, David beruntung. Emil mau membeli barang dagangannya. Lima keset yang ditenteng sejak pagi berganti Rp 300.000. Menerima uang sebesar itu, David semringah. Selain jarang bertemu tokoh populer, penghasilan sebesar itu mustahil didapat David setiap hari.
Bertahun-tahun menjadi penjual keset, David mengatakan, rekor terbesarnya hanya Rp 200.000 atau setara 3-4 keset. Dikurangi modal dan ongkos, kurang dari Rp 100.000 untuk biaya hidup istri dan anak berumur 1 tahun.
”Seringnya, kalau pulang ke rumah cuma bawa capeknya saja,” kata David.
Rakyat kecil
Tidak jauh dari David menjajakan keset, ada Juhariah (72) yang berjualan tisu. Di usia senja, Juhariah terpaksa berjualan untuk membantu mencari uang keluarganya.
Bukan perkara mudah bagi dia untuk mencari uang di jalan. Badannya bungkuk. Namun, berjualan sejak pagi, belum ada tisu yang terjual hingga siang itu.
Dia mengatakan sudah lelah menjajakan tisu. Namun, dia harus membantu mencukupi kebutuhan hidup bersama anaknya.
”Biasanya ada sembilan bungkus terjual setiap harinya atau setara Rp 90.000. Kalau bersihnya paling Rp 50.000. Semua diberikan pada anak. Saya tinggal menumpang bersama mereka. Uangnya untuk bantu biaya sekolah dua cucu saya,” kata warga Sukajadi, Kota Bandung, itu dengan wajah lesu.
Dari target para calon, rata-rata penurunan hampir 1 persen per tahun. Itu angka yang hampir mustahil karena dalam lima tahun, penurunan kemiskinan itu rata-rata 0,3 persen per tahun. Apalagi, angka ini bersifat relatif. (Arief Anshory Yusuf)
Kini, di tahun politik, baik David dan Juhariah, berharap ada asa yang membantu hidup mereka. Keduanya ingin para pemimpin yang berkontestasi bisa mengeluarkan mereka dari jerat kemiskinan. David dan Juhariah juga ingin hidup sejahtera seperti peserta-peserta pemilu itu.
”Saya sangat butuh pekerjaan. Bantuan sosial memang sangat membantu, tetapi itu cuma habis beberapa hari,” ujar David.
Sementara itu, Juhariah ingin cucunya bisa hidup lebih baik. Sekolah, kata dia, bisa membuat masa depan mereka jauh lebih baik. ”Semoga cucu-cucu saya bisa bersekolah dengan murah dan nyaman, tidak kaya neneknya ini, ga tamat SD, kata Juhariah sambil tersenyum miris.
Lesu yang dialami David dan Juariah bisa jadi wajah kemiskinan di Indonesia. Jangankan menatap masa depan, mereka kerap ragu hanya untuk menjalani hari ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2023 mencapai 25,90 juta jiwa atau 9,36 persen. Jumlah ini berdasarkan garis kemiskinan di bulan yang sama sebesar Rp 550.450 per kapita per bulan.
Dari jumlah tersebut, di Jabar saja, warga miskin mencapai 3,88 juta jiwa. Jabar menempati posisi kedua setelah Jawa Timur (4,18 juta). Di posisi ketiga ada Jawa Tengah dengan jumlah penduduk miskin sebesar 3,79 juta.
Namun, jika dilihat dari persentase penduduk, kemiskinan di Pulau Jawa hanya sebesar 8,79 persen. Persentase tertinggi ada di Maluku dan Papua yang menyentuh 19,68 persen, lalu Bali dan Nusa Tenggara di angka 13,29 persen.
Janji pemimpin
Kondisi kemiskinan ini tidak luput dari perhatian para calon pasangan presiden yang akan berebut kursi kekuasaan. Bahkan, setiap pasangan memasang target yang cukup memberikan angin segar bagi rakyat.
Berdasarkan artikel Strategi Capres-Cawapres Tekan Angka Kemiskinan Belum Realistis (Kompas.id, 31/10/2023), ketiga pasang kandidat tampak ambisius menekan kemiskinan. Bahkan, mereka menjanjikan penurunan persentase kemiskinan ekstrem hingga 0 persen.
Pasangan calon presiden nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, hendak menekan tingkat kemiskinan menjadi 4-5 persen di tahun 2029 dan menghapus kemiskinan ekstrem dalam dua tahun pertama menjabat. Mereka menggunakan strategi bansos dan insentif, menciptakan hingga 15 juta lapangan kerja, hingga ekosistem distribusi makanan.
Baca juga: Intervensi Dibutuhkan untuk Menekan Kesenjangan
Pasangan capres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, menargetkan kemiskinan di bawah 6 persen pada 2029 dan 0 persen kemiskinan ekstrem pada 2026. Mereka akan melanjutkan program bantuan sosial hingga menyediakan transportasi publik bagi rakyat tidak mampu.
Pasangan capres nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, bahkan ingin menekan kemiskinan menjadi 2,5 persen pada 2029 dengan kemiskinan ekstrem 0 persen. Mereka menggunakan program Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana, meningkatkan jumlah kelompok penerima manfaat, bahkan membentuk dana abadi kesejahteraan sosial.
Namun, target pengentasan warga dari kemiskinan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ekonom dari Universitas Padjadjaran Profesor Arief Anshory Yusuf berpendapat, target yang diajukan para pasangan calon pemimpin negeri ini sulit dicapai.
”Dari target para calon, rata-rata penurunan hampir 1 persen per tahun. Itu angka yang hampir mustahil karena dalam lima tahun, penurunan kemiskinan itu rata-rata 0,3 persen per tahun. Apalagi, angka ini bersifat relatif,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Arief, garis kemiskinan yang selama ini menjadi patokan oleh BPS dan pihak lainnya juga perlu direvisi karena menggunakan standar yang sama dengan negara-negara miskin. Padahal, Indonesia sudah masuk negara dengan pendapatan menengah-atas.
”Kalau ini (kemiskinan) direvisi, angka yang ada malah lebih tinggi lagi. Tetapi, bukan berarti buruk, ini hanya menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Misalnya, dulu itu standar hanya makanan, sekarang sudah ada akses internet juga bagian dari kebutuhan masyarakat,” paparnya.
Karena itu, Arief berharap para calon penguasa tidak sekadar melihat kemiskinan dari angka saja. Ada kebutuhan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menghadapi masa depan.
Menurut Arief, bantuan sosial bukan menjadi jalan keluar utama dalam mengentaskan warga dari kemiskinan. Dana hingga komoditas yang langsung diberikan kepada masyarakat ini hanya digunakan sebagai jaring pengaman, bukan janji politik kepada rakyat kecil.
Padahal, Indonesia menghadapi pertumbuhan ekonomi yang tidak merata. Menurut Arief, ketimpangan ini dapat menghambat perekonomian bahkan untuk mengurangi angka kemiskinan.
Salah satu penyebab ketimpangan ini, lanjut Arief, adalah akses pendidikan yang tidak sama antara masyarakat. Padahal, kapasitas SDM dilihat dari pendidikan dan menjadi modal bagi kemajuan bangsa.
”Mobilitas sosial ini yang perlu diperhatikan. Dengan pendidikan, status orang-orang bisa berpindah dari miskin ke tidak miskin. Peningkatan livelihood (kualitas hidup) ini yang perlu jadi perhatian sehingga masyarakat bisa mencari uang sendiri,” kata Arief.
Kualitas hidup yang baik akan menambah kekuatan Indonesia menjadi bangsa yang besar. Namun, semua itu sulit untuk dicapai jika masih ada warga yang kesulitan makan. Para calon pemimpin diharapkan bisa membuat mereka berdaya dan mampu menata masa depan. David dan Juariah jelas menantikan tebaran janji manis itu benar-benar terbukti.
Baca Juga: Kekayaan Orang Terkaya di Dunia Berlipat Ganda Ketika Kemiskinan Makin Parah