logo Kompas.id
β€Ί
Nusantaraβ€ΊAsa dari Tanah-tanah Konflik...
Iklan

Asa dari Tanah-tanah Konflik Agraria

Petani dan warga di sejumlah wilayah menuntut hak atas tanah dan menagih janji reforma agraria.

Oleh
VINA OKTAVIA, NIKSON SINAGA, RENY SRI AYU ARMAN, MEGANDIKA WICAKSONO, MACHRADIN WAHYUDI RITONGA, KRISTIAN OKA PRASETYADI, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, PRADIPTA PANDU MUSTIKA, MUKHAMAD KURNIAWAN
Β· 1 menit baca
Buruh angkut menggunakan sepeda motor untuk mengangkut akar wangi dari lahan di kaki Gunung Cikuray, Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (13/1/2024). Akar wangi merupakan komoditas unggulan dengan nilai ekspor yang dikelola oleh masyarakat di desa tersebut.
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA

Buruh angkut menggunakan sepeda motor untuk mengangkut akar wangi dari lahan di kaki Gunung Cikuray, Desa Sukamukti, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu (13/1/2024). Akar wangi merupakan komoditas unggulan dengan nilai ekspor yang dikelola oleh masyarakat di desa tersebut.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, turunan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, sejatinya telah mengatur prinsip-prinsip pokok yang mewajibkan negara mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya. Harapannya, semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan Indonesia dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Akan tetapi, hingga 78 tahun merdeka, reforma agraria belum berhasil dilaksanakan. Ironisnya, kepemilikan lahan amat timpang, yakni hanya 1 persen populasi masyarakat menguasai 68 persen kekayaan tanah di Indonesia tahun 2013. Pada saat yang sama, petani gurem atau petani dengan luas lahan 0,5 hektar atau kurang terus meningkat, yakni dari 55,33 persen (14,25 juta rumah tangga) pada 2013 menjadi 60,84 persen (16,89 juta rumah tangga) pada 2023.

Editor:
MUKHAMAD KURNIAWAN
Bagikan