Mencapai 400 Juta Dosis Vaksin untuk Masyarakat Indonesia
Setidaknya 400 juta dosis vaksin Covid-19 diterima oleh masyarakat Indonesia. Vaksin berperan mengendalikan pandemi.
Sudah satu tahun terlewati sejak status pandemi Covid-19 dicabut di dunia. Situasi penularan yang dinilai terkendali dengan tren penurunan transmisi dan kematian akibat infeksi Covid-19 membuat penyakit tersebut tidak lagi dianggap sebagai kedaruratan global.
Meski begitu, dampak dari krisis kesehatan global tersebut masih tersisa hingga saat ini. Bagaimana tidak? Pandemi Covid-19 telah menyebabkan hilangnya jutaan nyawa manusia di dunia. Sebagian besar aspek pada kehidupan masyarakat pun terdisrupsi, mulai dari aspek sosial, pendidikan, dan ekonomi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara kumulatif mencatat setidaknya sebanyak 7,1 juta orang meninggal akibat Covid-19 dan sebanyak 775,9 juta orang terkonfirmasi tertular Covid-19. Sementara itu, total kematian akibat Covid-19 di Indonesia yang dilaporkan ke WHO mencapai 162.000 kasus. Jumlah itu merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara.
Saat awal pandemi, Indonesia tidak siap menghadapi situasi kegawatdaruratan tersebut. Ketersediaan alat kesehatan belum memadai. Banyak warga tidak bisa mengakses oksigen dan obat-obatan sehingga akhirnya tidak tertolong. Rumah sakit pun tidak lagi mampu menampung pasien Covid-19 dan para tenaga kesehatan kelelahan.
Bahkan, tenaga kesehatan pun tidak mendapatkan alat pelindung diri yang sesuai. Berdasarkan catatan Lapor Covid-19 per 21 April 2022, jumlah tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal akibat Covid-19 mencapai 2.087 orang. Itu termasuk yang tertinggi di dunia.
Tidak hanya itu, pada awal pandemi, pemeriksaan sampel virus korona penyebab Covid-19 melalui pengurutan genom terpusat pada satu laboratorium milik Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Hal ini membuat Indonesia terlambat mendeteksi virus penyebab Covid-19.
Kondisi tersebut akhirnya mendorong pemerintah untuk bergerak cepat memperkuat infrastruktur kesehatan, terutama untuk menangani pandemi Covid-19, hingga akhirnya sistem dan kapasitas layanan kesehatan di Indonesia sudah lebih baik. Setidaknya sudah ada 50 laboratorium pemeriksaan sekuensing genom yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. (Kompas.id, 13 April 2023)
Indonesia juga kini memiliki empat pabrik vaksin dari sebelum pandemi hanya ada satu pabrik yang bisa memproduksi vaksin. Selain itu sistem digitalisasi kesehatan diperkuat berkolaborasi dengan swasta demi mendekatkan akses layanan kesehatan bagi warga. Sementara aplikasi Peduli Lindungi yang sebelumnya untuk memantau status kesehatan masyarakat saat pandemi, lalu dilanjutkan Kementerian Kesehatan jadi aplikasi Satu Sehat.
Senjata pamungkas
Seiring berjalannya waktu, situasi kegawatan akibat Covid-19 mulai menurun. Hal itu terutama setelah vaksin Covid-19 ditemukan dan diakses oleh masyarakat luas. Pandemi Covid-19 memberikan pemelajaran bahwa vaksin punya peran penting sebagai senjata pamungkas dalam mengendalikan krisis kesehatan global.
Baca juga: Atasi Ketimpangan Vaksinasi
Sayangnya, ketimpangan akses vaksin di tingkat global menjadi salah satu hambatan dalam pengendalian Covid-19 di dunia. Hal itu juga disampaikan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dalam laporan hasil riset berjudul ”Kajian Kebijakan Studi Inklusivitas Program Vaksinasi Covid-19 pada Masyarakat Adat dan Kelompok Rentan”.
Dalam riset itu disebutkan, hingga 11 Juli 2023, hanya 67,73 persen populasi di negara-negara berpendapatan rendah-menengah dan 33,8 persen populasi di negara dengan ekonomi rendah yang telah divaksinasi setidaknya satu dosis. Hal itu berbanding jauh dengan capaian vaksinasi di negara berpendapatan tinggi yang mencapai 80,27 persen dan negara berpendapatan tinggi-menengah yang mencapai 80,77 persen.
Founder sekaligus CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih, saat dihubungi di Jakarta, Selasa (8/10/2024) mengatakan, ketimpangan akses vaksin di tingkat global diakibatkan oleh oligopoli dan perang paten dari perusahaan farmasi besar di dunia. ”Ketimpangan ini juga terjadi karena vaksin belum dianggap sebagai barang publik,” katanya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebenarnya menekankan bahwa vaksin perlu didefinisikan sebagai barang publik (public goods). Jika dianggap sebagai barang publik, tidak akan ada persaingan (non-rivalrous) dalam akses vaksin dan vaksin juga tidak dapat dikecualikan (non-excludable) pada setiap orang.
Pandemi Covid-19 memberikan pemelajaran bahwa vaksin punya peran penting dalam mengendalikan krisis kesehatan global. Sayangnya, ketimpangan akses vaksin di tingkat global menjadi salah satu hambatan dalam pengendalian Covid-19 di dunia.
Setidaknya ada tiga alasan mengapa vaksin harus dijamin sebagai barang publik. Pertama, karena alasan moral. Vaksin yang bisa diakses secara kolektif berkorelasi dengan pembentukan kekebalan kelompok (herd immunity). Apabila vaksin hanya bisa diakses oleh sebagian orang, kekebalan kelompok tidak akan terbentuk.
Baca juga: Ketimpangan Vaksin Covid-19 di Dalam dan Luar Negeri
Kedua, risiko kesehatan lintas batas antarnegara akan terus terjadi jika akses vaksin masih timpang. Jika kekebalan kelompok di negara berpenghasilan rendah dan rendah menengah tidak terbentuk, sementara orang-orang masih bergerak antarnegara, itu akan membuat persebaran dan mutasi virus akan terjadi.
Ketiga, vaksin sebagai barang publik menimbulkan manfaat ekonomi. Oxfam International pada 2020 mengestimasi, negara-negara berpenghasilan tinggi kehilangan 119 dollar AS per tahun jika negara-negara berpenghasilan rendah terhambat mengakses vaksin. Sebaliknya, tiap 1 dollar AS yang dibelanjakan negara berpenghasilan tinggi untuk memasok vaksin ke negara berpendapatan rendah, itu membuat negara berpenghasilan tinggi mendapatkan kembali 4,8 dollar AS.
Kesulitan untuk mendapatkan vaksin Covid-19 disampaikan pula oleh Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Dalam wawancara khusus yang dilakukan oleh Kompas, Budi menyatakan, negosiasi untuk mendapat vaksin Covid-19 tidak mudah dilakukan.
”Negosiasi untuk mendapat vaksin ini sudah dilakukan sebelum saya menjadi Menteri Kesehatan. Saat itu saya masih di Kementerian Badan Usaha Milik Negara atau BUMN (sebagai Wakil Menteri BUMN). Negosiasi pertama kali dengan AstraZeneca dan waktu itu tidak ada yang percaya Indonesia sebagai negara berkembang bisa beli vaksin,” ujarnya.
Produsen vaksin saat itu sempat memberikan persyaratan. Indonesia bisa mengakses vaksin jika bisa menjelaskan manfaat dari pemberian vaksin tersebut sekaligus manfaat finansial bagi mereka. Menurut Budi, penjelasan paling masuk akal, yakni untuk menangani pandemi. Jika orang di seluruh dunia masih bergerak, sementara vaksin hanya diberikan masyarakat di Amerika Serikat, hal itu tidak akan bisa menghentikan pandemi.
Diplomasi
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi mengatakan, upaya untuk mencari vaksin dilakukan oleh Kementerian Luar Negeri melalui tim Percepatan Pemulihan Ekonomi (TPPE). Ketersediaan vaksin untuk semua menjadi salah satu isu pokok Indonesia dalam berbagai diplomasi bilateral dan multilateral.
Kemlu RI berkomunikasi intensif dengan para produsen yang tengah mengembangkan vaksin. Ada tiga pihak bekerja sama saat itu, yakni Bio Farma dengan Sinovac dari China; Kalbe Farma dengan Genexine dari Korea Selatan, dan Bio Farma dengan Koalisi untuk Kesiapan Inovasi Epidemi (CEPI).
Kala itu, Indonesia mendorong penjajakan untuk memanfaatkan celah lisensi wajib yang disediakan Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (TRIPS). Celah itu memungkinkan suatu negara memproduksi obat tanpa izin dari pihak pemilik paten. Celah itu bisa dimanfaatkan jika ada pandemi atau situasi darurat dan tidak ada obat atau vaksin lain.
Beberapa bulan setelah Sinovac menyelesaikan tahap pertama uji klinis calon vaksin Covid-19. Kedutaan Besar RI di Beijing juga secara konsisten mendekati dan menghubungi sejumlah pihak di China. Hasilnya, pada Juni 2020, Bio Farma dan Sinovac meresmikan kerja sama pengembangan vaksin.
Kala bibit calon vaksin Sinovac dikirim dari China, KBRI Beijing mengemasnya sebagai barang diplomatik. Kala tiba di Indonesia, kemasan itu ditunggu tim gabungan dari Kemenlu dan sejumlah kementerian serta lembaga. Semua itu bagian dari penerjemahan diplomasi perlindungan, salah satu dari empat pilar kebijakan luar negeri Indonesia 2019-2024.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Adalah Vaksin Rakyat
Selama tahun pertama pandemi, Retno, antara lain, berkeliling ke berbagai negara bersama Menteri BUMN Erick Thohir. Dari lawatan ke China dan Uni Emirat Arab, Retno, dan Erick mengamankan pasokan 20 juta dosis untuk 2020 dan 290 juta dosis untuk 2021. Mereka juga telah mengamankan tambahan pasokan hingga 10 juta dosis untuk 2020 dan 50 juta dosis untuk 2021.
Dengan berbagai cara itu, akhirnya Indonesia bisa mendapatkan ratusan ribu dosis vaksin Covid-19 bagi masyarakat. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan, setidaknya 400 juta dosis vaksin sudah diberikan ke masyarakat dengan menyasar lebih dari 200 juta penduduk di Indonesia. ”Kita akhirnya bisa mengendalikan pandemi dan merupakan salah satu yang tercepat di dunia,” ungkapnya.
Ketimpangan
Akan tetapi, pelaksanaan vaksinasi Covid-19 di Indonesia masih menyisakan persoalan. Pada akhir tahun 2022, suplai atau ketersediaan vaksin memang tidak lagi menjadi permasalahan. Persoalan yang dihadapi saat itu lebih pada distribusi. Keterbatasan infrastruktur, logistik, dan masa kadaluwarsa vaksin menjadi tantangan dalam pelaksanaan vaksinasi di masyarakat.
Pada tahun 2022, Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono seperti yang dikutip dalam laporan hasil riset CISDI menyebutkan, setidaknya 40,2 juta dosis vaksin Covid-19 terbuang karena kedaluwarsa. Masalah distribusi ini pula yang menyebabkan terjadinya ketimpangan pada pemberian vaksinasi di Indonesia.
Sejak status kedaruratan pandemi Covid-19 dicabut oleh pemerintah pada 21 Juni 2023, masih ada 18 provinsi yang belum memenuhi target 70 persen cakupan vaksinasi dosis pertama. Empat provinsi di antaranya, yakni Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan Papua bahkan cakupannya masih di bawah 50 persen.
Diah mengatakan, Indonesia cenderung bisa memenuhi jumlah kebutuhan vaksin dari segi suplai di pusat melalui berbagai mekanisme pinjaman, hibah, kerja sama, dan produksi domestik. Namun, tantangan utama selama pandemi lebih pada distribusi vaksin hingga ke level fasilitas pelayanan kesehatan dan memastikan masyarakat dapat menerima vaksin tersebut.
Baca juga: Nasionalisme Diplomasi Vaksin
”Ke depannya investasi perlu diarahkan untuk peningkatan kapasitas produksi serta penguatan hingga ke level subnasional, terutama distribusi dan pelaksanaan vaksinasi,” katanya.