logo Kompas.id
HumanioraKetertutupan Data Riwayat...
Iklan

Ketertutupan Data Riwayat Hidup Caleg Preseden Buruk bagi Keterbukaan Informasi

Sekitar 30 persen caleg DPR RI tidak membuka daftar riwayat hidupnya. Ini preseden buruk bagi keterbukaan informasi.

Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
· 3 menit baca
Sejumlah baliho calon anggota legislatif dan calon presiden di tepi Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Minggu (10/12/2023).
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS

Sejumlah baliho calon anggota legislatif dan calon presiden di tepi Jalan Ahmad Yani, Kecamatan Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Minggu (10/12/2023).

JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 30 persen calon anggota legislatif atau caleg DPR RI dari 18 partai politik nasional peserta Pemilu 2024 tidak membuka daftar riwayat hidupnya. Padahal, informasi itu diperlukan agar pemilih mengetahui rekam jejak caleg dalam menentukan pilihan. Ketertutupan informasi ini menjadi preseden buruk bagi keterbukaan informasi.

Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan, keterbukaan informasi, seperti daftar riwayat hidup caleg, dana kampanye, dan dan formulir C1 (sertifikat rincian dan hasil penghitungan perolehan suara di TPS), sangat penting untuk meningkatkan kepercayaan publik melalui transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemilu. Adanya 30 persen caleg DPR RI yang menutup daftar riwayat hidupnya menjadi ironi di tengah upaya meningkatkan partisipasi publik dalam pemilu.

LBH Pers yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keterbukaan Informasi meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI transparan dalam melaksanakan proses Pemilu 2024. Sebelumnya koalisi juga telah meminta KPU memberikan informasi mengenai uji konsekuensi yang telah dilakukan terkait pengecualian atas informasi pribadi dari 2.965 caleg DPR RI atau sekitar 30 persen dari total 9.917 caleg.

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, menjelaskan data saat konferensi pers penetapan daftar calon sementara (DCS) calon legislatif DPR di kantor KPU, Jakarta, Jumat (18/8/2023).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Idham Holik, menjelaskan data saat konferensi pers penetapan daftar calon sementara (DCS) calon legislatif DPR di kantor KPU, Jakarta, Jumat (18/8/2023).

Menurut Ade, masalah ketertutupan informasi bukan sebatas pada Pemilu 2024. ”Namun, ke depannya, kita ingin menjaga ruang keterbukaan informasi tidak tercederai oleh preseden buruk ini. Ketika hal buruk ini dibiarkan, dikhawatirkan menjadi contoh bagi badan publik lainnya,” ujarnya dalam diskusi daring ”Keterbukaan Informasi Caleg dan Hasil Pemilu”, Selasa (13/2/2024).

Baca juga: 30 Persen Calon Anggota DPR Tutup Riwayat Hidup

Selain itu, hal ini dikhawatirkan menjadi acuan bagi pejabat publik untuk menutupi daftar riwayat hidupnya yang menjadi informasi publik. Kondisi itu akan merugikan masyarakat yang ingin mengetahui berbagai informasi mengenai pejabat dalam pemerintahan atau lembaga negara lainnya.

Ade menuturkan, ketertutupan informasi dalam proses pemilu menimbulkan pertanyaan besar. Sebab, semestinya hal itu menjadi kesempatan para caleg untuk mengenalkan diri dan rekam jejaknya sehingga menjadi referensi warga dalam menentukan pilihan.

Iklan

Pemilu menjadi sarana reward dan punishment oleh masyarakat. Reward atau apresiasi diberikan kepada peserta pemilu yang transparan, akuntabel, dan memiliki rekam jejak baik.

”Mengapa harus ditutupi? Apakah ada yang disembunyikan? Kalau masih jadi caleg saja tertutup, bagaimana nanti ketika sudah terpilih menjadi pejabat publik? Apakah akan semakin tertutup? Ini jadi kekhawatiran di masa mendatang,” ucapnya.

Menurut Ade, data pribadi caleg bisa dipublikasikan sepanjang memiliki kepentingan dalam penyelenggaraan negara. Apalagi, data tersebut cukup krusial karena menjadi bahan pertimbangan masyarakat untuk memilih calon pejabat publik.

Jadi, menutupi informasi tentang caleg justru dikhawatirkan mereduksi kepercayaan publik terhadap proses pemilu.

”Daftar riwayat hidup caleg merupakan hal penting untuk melihat apakah calon-calon pejabat publik ini benar dan punya rekam jejak baik atau buruk. Semua ini bisa dilihat dari situ,” ujarnya.

Baca juga: 147 Badan Publik Tidak Informatif, Keterbukaan Informasi Belum Dianggap Penting

Orang dengan gangguan jiwa menunjukkan surat suara sebelum mencoblos dalam simulasi pemilu di Yayasan Jamrud Biru, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (13/2/2024). Sebanyak 97 dari 140 pasien gangguan jiwa di pondok rehabilitasi ini terdata dalam daftar pemilih tetap pada Pemilu 2024.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Orang dengan gangguan jiwa menunjukkan surat suara sebelum mencoblos dalam simulasi pemilu di Yayasan Jamrud Biru, Kota Bekasi, Jawa Barat, Selasa (13/2/2024). Sebanyak 97 dari 140 pasien gangguan jiwa di pondok rehabilitasi ini terdata dalam daftar pemilih tetap pada Pemilu 2024.

Hak atas informasi

Partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci dari proses pemilu. Oleh sebab itu, hak atas informasi bagi masyarakat mengenai informasi caleg menjadi hal yang pemenuhannya harus diprioritaskan.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik M Pratama, mengatakan, pemilu menjadi sarana penghargaan dan sanksi oleh masyarakat.

Reward atau apresiasi diberikan kepada peserta pemilu yang transparan, akuntabel, dan memiliki rekam jejak baik. Adapun punishment atau hukuman diberikan untuk kandidat yang tidak mencerminkan ekspektasi publik, termasuk dalam konteks integritas dan transparansi.

”Bisa dibayangkan, kalau sejak awal pendaftaran saja daftar riwayat hidupnya tidak mau dibuka, berarti ada hal yang ditutupi. Artinya, bisa jadi ketika mereka sudah terpilih, sulit bagi pemilih untuk mengakses wakil-wakil rakyat itu,” ucapnya.

Editor:
EVY RACHMAWATI
Bagikan