logo Kompas.id
â€ș
Humanioraâ€șKompas Moral Kaum Intelektual
Iklan

Kompas Moral Kaum Intelektual

Seruan kritis para guru besar terus berembus dari kampus ke kampus. Seruan itu menjadi kompas moral kaum intelektual.

Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
· 4 menit baca
Sivitas akademika yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, menggelar aksi “Laskar Poetra Soedirman Menggugat” di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (7/2/2024).
KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO

Sivitas akademika yang terdiri dari guru besar, dosen, mahasiswa, dan alumni Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, menggelar aksi “Laskar Poetra Soedirman Menggugat” di Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu (7/2/2024).

Meski dituding partisan, sejumlah kampus menolak bungkam untuk terus menyerukan keprihatinan terhadap praktik kekuasaan yang ugal-ugalan. Seruan kritis itu menjadi kompas moral kaum intelektual sebagai panduan agar penguasa tidak lari dari koridor demokrasi dan terbelenggu oleh redupnya etika.

Seruan melalui petisi oleh sivitas akademika dari berbagai penjuru Nusantara mulai mendapatkan ”balasan”. Beberapa pihak menyebut gerakan kampus ini sebagai strategi politik partisan. Sejumlah akademisi, termasuk guru besar, pun meradang.

Sebab, seruan kritis dari kampus sudah sering dilancarkan. Pada momentum Pemilu 2024, salah satu pemicu gelombang seruan itu adalah pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak.

Sebelumnya, muncul putusan Mahkamah Konstitusi berujung pada putusan etik pelanggaran berat terhadap Anwar Usman, Ketua MK saat itu, yang juga paman Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi. Putusan ini membuka jalan untuk Gibran maju dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengangkat tangan seusai konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Anwar Usman membantah adanya konflik kepentingan saat ia menangani perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.
KOMPAS/ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengangkat tangan seusai konferensi pers di Gedung MK, Jakarta, Rabu (8/11/2023). Anwar Usman membantah adanya konflik kepentingan saat ia menangani perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden.

Melalui Petisi Bulaksumur, Rabu (31/1/2024), para sivitas akademika Universitas Gadjah Mada menyerukan ajakan kembali ke jalan demokrasi kepada Presiden Jokowi serta aparat penegak hukum, pejabat negara, dan aktor politik. Seruan bernada serupa juga disuarakan puluhan kampus di Tanah Air.

Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas mengatakan, parameter demokrasi hadir di jantung universitas. Oleh sebab itu, universitas mestinya menjadi ”otaknya” negara.

Baca juga: Peluit Cendekia Mengingatkan Penguasa

”Jadi, kalau dia (universitas) membuat deklarasi, tidak usah dicurigai oleh elite-elite politik. Kecuali kalau komunitasnya lain. Ini kan sebagai komunitas ilmiah,” ujarnya dalam Dialog Kebangsaan: Mengawal Demokrasi untuk Pemilu Bersih dan Damai, di Jakarta, Rabu (7/2/2024).

Hafid menceritakan pengalamannya ketika menjabat Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia di Departemen Kehakiman dan HAM pada 2000-an. Dalam kunjungan kerja ke Jepang, ia terkejut saat Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara mengundurkan diri.

Gerakan seruan kampus merupakan reaksi atas kemunduran demokrasi. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan Mahkamah Konstitusi dibelit masalah etik.

Maehara mundur karena menerima donasi politik dari perempuan berusia 72 tahun yang ia kenal sejak lama dan selama puluhan tahun tinggal di Jepang. Namun, belakangan baru diketahui perempuan itu masih berkewarganegaraan Korea.

Iklan

Alhasil, ia dianggap menerima donasi politik ilegal dari warga negara asing. ”Begitu tahu melanggar undang-undang, ia mengundurkan diri. Jadi, dia tidak mengurus anaknya, tidak mengurus menantunya. Dia malu dan mengakuinya. Itu akhlak yang harus tumbuh di negeri kita,” jelasnya.

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, pemilu bersih ketika peraturan perundang-undangan bisa dilaksanakan sesuai dengan asas pemilu. Asas itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Namun, etika juga tidak boleh dikesampingkan. ”Saat Pak Jokowi makan bakso dengan salah satu capres, itu kelihatan mendukung. Lalu saya ditanya pasal mana yang menyebutkan presiden dilarang makan bakso dengan capres. Masa kita mau serendah itu bikin 1.000 undang-undang mengenai presiden dilarang makan ini dan itu. Kita kan punya panduan moral,” ujarnya.

Rektor Universitas IBA Palembang Tarech Rasyid saat memimpin pembacaan ”Petisi Bumi Sriwijaya Kampus Kebangsaan Religius bertema Menyelamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Berkeadilan, dan Bermartabat” di halaman Universitas IBA, Rabu (7/2/2024).
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH

Rektor Universitas IBA Palembang Tarech Rasyid saat memimpin pembacaan ”Petisi Bumi Sriwijaya Kampus Kebangsaan Religius bertema Menyelamatkan Negara Hukum yang Demokratis, Berkeadilan, dan Bermartabat” di halaman Universitas IBA, Rabu (7/2/2024).

Menurut Bivitri, gerakan seruan kampus merupakan reaksi atas kemunduran demokrasi. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan MK dibelit masalah etik.

”Para guru besar dan akademisi lainnya punya privilese (keistimewaan) untuk belajar setinggi itu dan punya kompas moral untuk dijadikan panduan bagi banyak warga. Makanya ketika melihat ada yang tidak benar, mereka harus bersuara. Itu namanya tanggung jawab kaum intelektual,” ujarnya.

Demokrasi terluka

Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial UNJ, Ubedilah Badrun, menuturkan, Indonesia sejak awal telah memilih jalan demokrasi. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, demokrasi terluka karena akrobatik hukum dan politik. Salah satunya adalah putusan MK mengenai perubahan syarat capres dan cawapres yang menuai polemik.

”Mengapa demokrasi kita memburuk? Karena elite menggunakan regulasi, undang-undang, untuk kepentingan yang tidak demokratis. Kasus di MK mengenai perubahan syarat capres-cawapres tanpa melalui partisipasi bermakna,” katanya.

Baca juga: Seruan dari Kampus Terus Bergulir

Seruan dari Kampus Belum Berhenti Meminta Presiden Jokowi Netral
KOMPAS

Seruan dari Kampus Belum Berhenti Meminta Presiden Jokowi Netral

Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana mengatakan, petisi atau seruan adalah hal wajar dalam demokrasi. Presiden Jokowi, disebut Ari, memiliki komitmen untuk patuh dan setia pada nilai-nilai demokrasi, Pancasila, dan koridor konstitusi.

Namun, menurut Ari, di tahun politik dan menjelang pemilu, selalu muncul pertarungan opini dan penggiringan opini. ”Pertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang wajar saja, apalagi terkait dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral,” tuturnya (Kompas.id, 2/2/2024).

Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan mengatakan, seruan untuk menyelamatkan demokrasi dan menjunjung tinggi etika bukanlah gerakan politik praktis. Namun, hal itu merupakan panggilan untuk bersuara ketika kekuasaan dijalankan keluar dari jalur moralitas.

”Sayangnya, gerakan moral ini dipersepsikan oleh segelintir orang sebagai partisan. Itu risiko. Namun, kampus tetap akan menyuarakan suara rakyat karena prinsip dari ilmu adalah mencari kebenaran,” ujarnya.

Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Bagikan