Kompas Moral Kaum Intelektual
Seruan kritis para guru besar terus berembus dari kampus ke kampus. Seruan itu menjadi kompas moral kaum intelektual.
Meski dituding partisan, sejumlah kampus menolak bungkam untuk terus menyerukan keprihatinan terhadap praktik kekuasaan yang ugal-ugalan. Seruan kritis itu menjadi kompas moral kaum intelektual sebagai panduan agar penguasa tidak lari dari koridor demokrasi dan terbelenggu oleh redupnya etika.
Seruan melalui petisi oleh sivitas akademika dari berbagai penjuru Nusantara mulai mendapatkan âbalasanâ. Beberapa pihak menyebut gerakan kampus ini sebagai strategi politik partisan. Sejumlah akademisi, termasuk guru besar, pun meradang.
Sebab, seruan kritis dari kampus sudah sering dilancarkan. Pada momentum Pemilu 2024, salah satu pemicu gelombang seruan itu adalah pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa presiden boleh berkampanye dan memihak.
Sebelumnya, muncul putusan Mahkamah Konstitusi berujung pada putusan etik pelanggaran berat terhadap Anwar Usman, Ketua MK saat itu, yang juga paman Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi. Putusan ini membuka jalan untuk Gibran maju dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden mendampingi calon presiden Prabowo Subianto.
Melalui Petisi Bulaksumur, Rabu (31/1/2024), para sivitas akademika Universitas Gadjah Mada menyerukan ajakan kembali ke jalan demokrasi kepada Presiden Jokowi serta aparat penegak hukum, pejabat negara, dan aktor politik. Seruan bernada serupa juga disuarakan puluhan kampus di Tanah Air.
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Hafid Abbas mengatakan, parameter demokrasi hadir di jantung universitas. Oleh sebab itu, universitas mestinya menjadi âotaknyaâ negara.
Baca juga: Peluit Cendekia Mengingatkan Penguasa
âJadi, kalau dia (universitas) membuat deklarasi, tidak usah dicurigai oleh elite-elite politik. Kecuali kalau komunitasnya lain. Ini kan sebagai komunitas ilmiah,â ujarnya dalam Dialog Kebangsaan: Mengawal Demokrasi untuk Pemilu Bersih dan Damai, di Jakarta, Rabu (7/2/2024).
Hafid menceritakan pengalamannya ketika menjabat Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia di Departemen Kehakiman dan HAM pada 2000-an. Dalam kunjungan kerja ke Jepang, ia terkejut saat Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara mengundurkan diri.
Gerakan seruan kampus merupakan reaksi atas kemunduran demokrasi. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan Mahkamah Konstitusi dibelit masalah etik.
Maehara mundur karena menerima donasi politik dari perempuan berusia 72 tahun yang ia kenal sejak lama dan selama puluhan tahun tinggal di Jepang. Namun, belakangan baru diketahui perempuan itu masih berkewarganegaraan Korea.
Alhasil, ia dianggap menerima donasi politik ilegal dari warga negara asing. âBegitu tahu melanggar undang-undang, ia mengundurkan diri. Jadi, dia tidak mengurus anaknya, tidak mengurus menantunya. Dia malu dan mengakuinya. Itu akhlak yang harus tumbuh di negeri kita,â jelasnya.
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, pemilu bersih ketika peraturan perundang-undangan bisa dilaksanakan sesuai dengan asas pemilu. Asas itu adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Namun, etika juga tidak boleh dikesampingkan. âSaat Pak Jokowi makan bakso dengan salah satu capres, itu kelihatan mendukung. Lalu saya ditanya pasal mana yang menyebutkan presiden dilarang makan bakso dengan capres. Masa kita mau serendah itu bikin 1.000 undang-undang mengenai presiden dilarang makan ini dan itu. Kita kan punya panduan moral,â ujarnya.
Menurut Bivitri, gerakan seruan kampus merupakan reaksi atas kemunduran demokrasi. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga penyelenggara pemilu dan MK dibelit masalah etik.
âPara guru besar dan akademisi lainnya punya privilese (keistimewaan) untuk belajar setinggi itu dan punya kompas moral untuk dijadikan panduan bagi banyak warga. Makanya ketika melihat ada yang tidak benar, mereka harus bersuara. Itu namanya tanggung jawab kaum intelektual,â ujarnya.
Demokrasi terluka
Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial UNJ, Ubedilah Badrun, menuturkan, Indonesia sejak awal telah memilih jalan demokrasi. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, demokrasi terluka karena akrobatik hukum dan politik. Salah satunya adalah putusan MK mengenai perubahan syarat capres dan cawapres yang menuai polemik.
âMengapa demokrasi kita memburuk? Karena elite menggunakan regulasi, undang-undang, untuk kepentingan yang tidak demokratis. Kasus di MK mengenai perubahan syarat capres-cawapres tanpa melalui partisipasi bermakna,â katanya.
Baca juga: Seruan dari Kampus Terus Bergulir
Koordinator Staf Khusus Presiden Anak Agung Gde Ngurah Ari Dwipayana mengatakan, petisi atau seruan adalah hal wajar dalam demokrasi. Presiden Jokowi, disebut Ari, memiliki komitmen untuk patuh dan setia pada nilai-nilai demokrasi, Pancasila, dan koridor konstitusi.
Namun, menurut Ari, di tahun politik dan menjelang pemilu, selalu muncul pertarungan opini dan penggiringan opini. âPertarungan opini dalam kontestasi politik adalah sesuatu yang wajar saja, apalagi terkait dengan strategi politik partisan untuk politik elektoral,â tuturnya (Kompas.id, 2/2/2024).
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia Cecep Darmawan mengatakan, seruan untuk menyelamatkan demokrasi dan menjunjung tinggi etika bukanlah gerakan politik praktis. Namun, hal itu merupakan panggilan untuk bersuara ketika kekuasaan dijalankan keluar dari jalur moralitas.
âSayangnya, gerakan moral ini dipersepsikan oleh segelintir orang sebagai partisan. Itu risiko. Namun, kampus tetap akan menyuarakan suara rakyat karena prinsip dari ilmu adalah mencari kebenaran,â ujarnya.