Isu Warga Pesisir dan Pulau Kecil ”Tenggelam” dalam Debat Capres dan Cawapres
Sepertiga wilayah Indonesia adalah lautan, tetapi potensinya masih dipandang sebelah mata.
JAKARTA, KOMPAS — Gagasan dan program kerja mengatasi perubahan iklim belum banyak diungkit para calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilihan Umum 2024. Padahal, warga pesisir sudah merasakan dampaknya dan batas wilayah laut Indonesia terancam dengan tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia Parid Ridwanuddin memaparkan, jumlah nelayan berkurang signifikan karena area tangkap mereka tak aman akibat cuaca ekstrem berkepanjangan. Mereka pun berpindah mencari pekerjaan ke darat.
Walhi mencatat, ada penurunan jumlah nelayan hingga 330.000 orang sejak tahun 2010. Selain itu, ada peningkatan jumlah nelayan yang meninggal di laut karena terpaksa tetap bekerja meski cuaca buruk dari 87 orang pada 2010 menjadi sekitar 250 orang pada 2020.
”Ke depan, kalau persoalan ini tidak diantisipasi pemerintah, produsen pangan laut tidak akan sampai ke kita, dan mungkin kita akan menjadi negara importir ikan terbesar di dunia,” kata Parid di Kantor Walhi, Jakarta, Selasa (23/1/2024).
Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) selama 1993-2022, jumlah pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan rata-rata tumbuh 0,13 persen per tahun. Namun, angka itu menurun saat terjadi anomali iklim yang tak diantisipasi sebelumnya.
Sebagai contoh saat terjadi fenomena Dipol Samudra Hindia atau Indian Ocean Dipole (IOD) positif bersifat kering pada 1994, jumlah pekerja turun 2,03 juta orang dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Saat terjadi La Nina yang bersifat basah pada 2011, jumlah pekerja turun 2,4 juta pekerja dibandingkan dengan tahun 2010.
Komitmen pemerintah untuk mengatasi iklim dan mencegah naiknya tinggi muka air laut harus dibuktikan dengan tidak adanya lagi pertambangan di pulau kecil.
Tim Jurnalisme Data Harian Kompas memproyeksikan hingga tahun 2030, jumlah petani dan nelayan akan turun 2,4 persen atau 926.492 orang jika tak ada intervensi mengatasi krisis iklim. Mereka yang beralih kerja paling banyak diperkirakan buruh yang tak punya lahan pertanian atau kapal (Kompas.id, 30/11/2023).
Baca juga: Solusi dari Kepulauan untuk Kemandirian Pangan
Parid menilai, permasalahan ini tidak dibahas secara rinci oleh ketiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam debat capres yang membahas keamanan negara ataupun dalam debat cawapres yang membahas lingkungan hidup.
Krisis iklim
Kelestarian pulau-pulau kecil dan kesejahteraan masyarakat pesisir seharusnya diutamakan karena sepertiga luas Indonesia adalah laut. ”Narasi ini tidak muncul saat bicara krisis iklim dampak terhadap desa-desa pesisir yang menjadi ruang hidup masyarakat itu absen dalam perdebatan kemarin,” ucapnya.
Secara Terpisah, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Muhammad Jamil menambahkan, banyak pulau kecil tergerus kegiatan pertambangan, antara lain Pulau Sangihe di Sulawesi Utara; Pulau Bunyu, Kalimantan Utara; dan Pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara.
Beberapa pulau lainnya yang terdampak meliputi Pulau Gag; Raja Ampat, Papua Barat Daya; Pulau Gee, Halmahera Timur; Pulau Pakal, Maluku Utara; Pulau Doi, Halmahera Utara; dan Pulau Romang, Maluku Barat Daya. Warganya sudah banyak yang pindah karena lingkungannya rusak.
Belum lagi masalah privatisasi pulau-pulau kecil yang semakin marak. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat, hingga pertengahan tahun 2023 ditemukan setidaknya 226 pulau kecil yang diprivatisasi di seluruh Indonesia.
Baca juga: Laut Tercemar dan Sawah Tidak Produktif
Dalam dokumen visi-misi setiap capres-cawapres, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar jadi pasangan paling banyak menyebut kata pesisir dan pulau kecil, yakni 27 kali. Sementara Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka hanya sebanyak lima kali dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD empat kali.
”Komitmen pemerintah untuk mengatasi iklim dan mencegah naiknya tinggi muka air laut harus dibuktikan dengan tidak adanya lagi pertambangan di pulau kecil,” kata Jamil.
Tanggul laut raksasa atau giant sea wall yang direncanakan salah satu pasangan calon, menurut Parid, bukan solusi. Dalam kajian akademis, giant sea wall mempercepat kerusakan sosial-ekologis di perairan, kepunahan flora dan fauna laut, mengikis hutan mangrove, dan nelayan kehilangan area tangkap.
Pemerintahan saat ini sudah memiliki lima poros maritim Indonesia, yakni budaya maritim, sumber daya maritim, infrastruktur dan konektivitas maritim, diplomasi maritim, serta pertahanan maritim. Hanya infrastruktur dan konektivitas maritim melalui program tol laut yang berjalan.
Oleh karena itu, Parid mendorong pemerintah selanjutnya untuk mengakui wilayah tangkap bagi nelayan tradisional melalui instrumen hukum. Sebab, kondisi hari ini, nelayan tradisional selalu bersinggungan dengan perusahaan penangkapan ikan dan investor pembangunan di darat yang mengeruk laut.
Baca juga: Lautan Memanas Cepat hingga Mencapai Rekor Tertinggi
Instrumen hukum yang dimaksud ialah Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim sebagai implementasi Perjanjian Paris mengenai iklim.
Pemerintah mendatang juga perlu merevisi sejumlah undang-undang kontroversial, seperti Undang Undang (UU) Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara, UU IKN, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Penangkapan Ikan Terukur, serta PP Pengelolaan Sedimentasi di Laut.
”Melibatkan nelayan tradisional juga bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi negara, bahkan tetap bisa mengekspor dengan kualitas bagus karena lautnya dijaga dengan baik. Berbeda kalau pakai pola pikir perusahaan,” ujar Parid menegaskan.