logo Kompas.id
Gaya HidupSeni Tak (Jadi) Mati
Iklan

Seni Tak (Jadi) Mati

Upaya-upaya ini membuktikan bahwa seni sebagai wadah kreativitas selalu mencari celah untuk terus bertumbuh. Bahkan, di tanah asing pun, ia lahir sebagai ”makhluk” baru yang terus beradaptasi dan berkembang.

Oleh
Putu Fajar Arcana & Nawa Tunggal
· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/WOkx30ROI0OVGsXhwscRsc75ZME=/1024x602/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F08%2F7d830a63-7a2c-4117-97d2-52173e8751d5_jpg.jpg
TANGKAPAN LAYAR YOUTUBE BUDAYA SAYA

Amir yang diperankan Chicco Jerikho membawakan salah satu seri monolog ”Di Tepi Sejarah” bertajuk Amir, Akhir Sebuah Syair. Monolog ini ditulis dan disutradarai oleh sastrawan Iswadi Pratama, berkolaborasi bersama Yosep Anggi Noen yang berkisah tentang Amir Hamzah (Chicco Jerikho), seorang sastrawan yang hidup di masa terjadinya revolusi sosial di Indonesia.

Empat seri teater sinema bertajuk ”Di Tepi Sejarah” yang dihelat Titimangsa Foundation bersama Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru Ditjen Kebudayaan Kemendikbud menjadi jawaban kegelisahan para pelaku seni pertunjukan. Teater sinema ini menjadi bentuk hibrida antara teater dan film, yang ditayangkan secara daring lewat kanal Youtube Budaya Saya.

Tahun 2020, saat pertama pandemi merebak, seni, terutama seni pertunjukan, seolah mati angin. Seri pertunjukan Indonesia Kita, inisiatif seniman Butet Kartaredjasa, Djaduk Ferianto, dan Agus Noor, yang telah berlangsung sejak 2011, tiba-tiba terhenti. Aktor-aktor kawakan, seperti Marwoto dan para personel Trio GAM (Guyonan Ala Mataram), yang jadi pemain tetap Indonesia Kita, kehilangan panggung.

Editor:
Dahono Fitrianto
Bagikan