Lapis Realitas Penyair Kini (Tanggapan atas Hasan Aspahani dan Binhad Nurrohmat)
Walau puisi itu sebuah dunia rekaan, namun pada dasarnya tidak berjarak dari keseharian. Imajinasi yang utuh dalam puisi tersusun dari aneka serpihan pengalaman, remah angan, dan juga pengharapan.
Jauh sebelum masa pandemi, di halaman budaya Kompas Minggu ini saya menulis sebuah esai bertajuk ”Ilusi Globalisasi, Mantra Visual dan Mimikri yang Mengelabui” (2009), mengungkapkan bahwa kemajuan dunia audiovisual di era digital memang tak selamanya menjadi rahmat. Melekat dalam media-media modern itu sebentuk kecanggihan yang penuh godaan manipulasi; melalui ketajaman mata kamera dan seperangkat teknologi di studio, sebuah peristiwa nyata bisa dikemas sedemikian rupa sehingga hadir lebih estetis, lebih imajinatif dari realitas yang sebenarnya.
Kehadiran teknologi informasi memicu perubahan segala lini. Dan gawai adalah keniscayaan tak terelakkan; secara serentak dan seketika dapat menghubungkan manusia dari belahan bumi mana pun melalui streaming ataupun suguhan peristiwa secara daring—mengubah konsep ruang dan waktu; disadari atau tidak, menghadirkan realitas baru; sebentuk realitas virtual.