Seperti sudah menjadi tradisi, dalam masa kampanye pemilihan umum, kalangan artis/pesohor naik panggung untuk menjadi juru kampanye partai politik. Ratusan artis dikerahkan untuk turun ke jalan atau ke panggung rapat terbuka untuk mengajak masyarakat memilih sosok peserta pemilu atau sebuah partai.
Kehadiran pesohor, baik sekadar sebagai juru kampanye maupun sebagai calon anggota legislatif dalam pemilu, bisa menjadi salah satu modal sosial parpol. Kehadiran para pesohor itu memberikan peluang kepada partai mendulang suara dalam pemilu.
Modal sosial juga digunakan partai politik untuk merebut suara dalam pemilu legislatif, selain modal ekonomi. Modal sosial berupa kepercayaan, jaringan, dan norma-norma sosial bisa menjadi modal meningkatkan dukungan partai. Parpol meyakini, artis bisa menjadi pendongkrak popularitas dirinya sekaligus penambang suara pemilih. Popularitas jadi magnet sosial.
Bermodal keyakinan itu, mereka mendaftarkan para artis ke Komisi Pemilihan Umum. Ada pemain sinetron, model, bintang film, penyanyi, komika, pemain musik, hingga selebgram atau pemengaruh. Kehadiran para pesohor di masa kampanye pemilu ini ibaratnya menjadi madu yang membuat manis sebuah hajatan politik Indonesia.
Perekrutan artis dan seniman oleh parpol bukan hal baru dalam sejarah politik di negeri ini. Pada masa Orde Lama, banyak seniman terlibat aktivitas partai. Sebagian dari mereka menjadi anggota legislatif.
Pemerhati kebudayaan Indra Tranggono menuturkan dalam kolom Kompas (27/7/2018), bahwa saat Orde Lama, ada seniman yang bergabung dengan Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Partai-partai pun membangun kanal-kanal seni/budaya, misalnya Lembaga Kebudayaan Rakyat/Lekra (PKI), Lembaga Kebudayaan Nasional/LKN (PNI), dan Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia/Lesbumi (NU). Hubungan seniman dan partai bersifat ideologis. Ada kesamaan cita-cita mewujudkan masyarakat ideal berdasarkan prinsip-prinsip nilai yang diyakini.
Salah satu lembaga tersebut ialah Lesbumi. Sebagai organisasi kebudayaan NU, Lesbumi menghimpun beragam artis: pelukis, bintang film, pemain pentas, dan sastrawan. Usmar Ismail, Bapak Perfilman Indonesia, menjadi pendiri sekaligus ketua pertama Lesbumi NU. Lembaga ini juga beranggotakan ulama yang memiliki latar belakang seni cukup baik.
Geger 1965 mengubah konstelasi politik dan paradigma kehidupan. Hubungan seniman dengan partai memudar, bahkan berjarak. Orde Baru, rezim yang kemudian muncul, membikin partai-partai tak berkutik. Partai kesulitan membangun kekuatan berbasis masyarakat.
Politik ”massa mengambang” pun diterapkan seiring langkah Orde Baru menyederhanakan partai menjadi tiga: Partai Persatuan Pembangunan/PPP (berbasis agama Islam), Partai Demokrasi Indonesia/PDI (nasionalisme), dan Golongan Karya/Golkar (nasionalisme kekaryaan).
Pada masa Orde Lama, seniman menjadi perhitungan partai politik karena dinilai memiliki potensi kultural yang memengaruhi cara pandang dan perilaku publik. Melalui karya-karyanya, seniman mampu membangun nilai-nilai, kesadaran, dan sikap politik publik.
Ini berbeda dengan masa Orde Baru. Seniman direkrut karena pertimbangan profesionalitas dan popularitas untuk memenangkan Golkar sekaligus instrumen pembangunan.
Dalam rekaman arsip foto Kompas, Golkar termasuk yang tercatat kerap mengajak pesohor dalam kampanye rapat terbuka sejak era Orde Baru. Saat artis-artis terkenal turun ke panggung kampanye, suasana pun semakin semarak, seolah-olah panggung kampanye menjadi panggung hiburan.
Kaum muda pun gembira mengikuti kampanye serta tak sabar untuk melihat dari dekat artis favorit mereka. Tangan pun meraih-raih ke panggung, sesuatu yang jarang dialami para juru kampanye resmi.
Artis terkenal pada masanya, seperti Titiek Puspa, Benyamin Sueb, Hetty Koes Endang, Edy Soed, Camelia Malik, hingga Rhoma Irama, menjadi bintang panggung kampanye Golkar.
Saat tembang ”Tidak Semua Laki-laki” yang populer dibawakan bersama Camelia Malik untuk menghibur massa Golkar di lapangan sepak bola Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, pada Pemilu 1992, massa kampanye pun menyambut hangat.
Penyanyi dangdut Camelia Malik bahkan mengikuti kampanye Golkar tiga kali di lokasi dan waktu yang berbeda dalam kampanye pada Maret 1992 di Jakarta.
Pada kampanye Golkar di Parkir Timur Senayan, Jakarta, Rabu (26/5/1992), hujan pun seakan tak menyurutkan animo massa kampanye untuk menikmati sajian musik yang dibawakan penyanyi rock Achmad Albar.
Dalam kesempatan lain, rocker Hari Mukti tampil menghibur massa yang memenuhi lapangan kampanye Golkar di lapangan Matoboi Kecil, Kecamatan Kotamobagu, Sulawesi Utara, saat Pemilu 1992. Selain musik cadas, dangdut selalu menjadi magnet primadona panggung kampanye dari waktu ke waktu.
Dominasi dan hegemoni Golkar yang nggegirisi saat rezim Orde Baru berkuasa membuat banyak politikus dan seniman berlindung di bawah pohon beringin. Lahirlah Artis Safari (1971) yang menghimpun seniman lintas bidang untuk memenangkan sekaligus memperkuat Golkar.
Ke mana para seniman yang lain? Ada yang tetap independen. Ada yang mendukung PPP. Ada pula yang masuk PDI. Mereka yang mendukung PPP dan PDI otomatis tidak mendapat ruang untuk berekspresi dan menghadirkan karyanya di masyarakat. Izin mereka tampil dipersulit, termasuk muncul di TVRI. Orde Baru menerapkan kebijakan cekal (cegal dan tangkal).
Contohnya Rhoma Irama sang Raja Dangdut, dan Titi Qadarsih, penyanyi sekaligus perancang busana, tampil di atas panggung kampanye PPP dan menyatakan akan memberikan suaranya untuk partai bertanda gambar nomor 1 tersebut.
Sementara itu aktor yang tergolong idealis dan teguh dalam prinsip, seperti Sophan Sophiaan, juga tak ragu menjadi bagian dari PDI pada Pemilu 1992. Setelah banyak berkiprah di dunia perfilman, Sophan terjun ke panggung politik.
Ia dan istrinya, aktris Widyawati, aktif dalam kampanye partai banteng tersebut. Tak sekadar mengikuti arus dinamika politik, Sophan juga tergolong politikus yang vokal dan melawan arus.
Tahun 1993, ketika baru setahun menjadi anggota DPR, Sophan sudah menentang pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden. Bersama Megawati Soekarnoputri dan Mangara Siahaan, Sophan termasuk salah satu Kelompok 19—sembilan belas anggota DPR yang menolak dalam Sidang Umum MPR 1993.
Ia juga pernah aktif di PDI-P. Salah satu manuver terkenalnya adalah saat mengundurkan diri dari DPR pada awal tahun 2002.
Memasuki era Reformasi, para artis direkrut partai karena mampu memberikan mahar politik, membiayai kampanye dirinya, dan punya modal popularitas. Uang dan popularitas menjadi kunci.
Pada masa ini, situasi politik menjadi cair. Tak ada lagi ideologi yang mendidih layaknya pada situasi Orde Lama. Kekuasaan pun tidak lagi sangar, menakutkan layaknya Orde Baru. Kebebasan meletup-letup.
Fenomena di lapangan tetap sama. Artis-artis tampil di panggung rapat terbuka di hadapan massa. Dangdut masih menjadi hiburan penarik massa pada musim kampanye pemilu.
Seperti saat artis dangdut Ikke Nurjanah menghibur simpatisan pada kampanye akbar Partai Demokrat, Sabtu (22/3/2014), di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Begitu juga saat penyanyi dangdut memeriahkan kampanye PDI-P pada Pemilu 2004 saat tampil mendampingi Taufik Kiemas.
Meski demikian, sebagian dari mereka ada yang serius menjadi calon legislator. Nurul Arifin, salah seorang fungsionaris Partai Golkar, adalah satu contohnya. Nomine Piala Citra ini menjabat sebagai anggota DPR RI dari Partai Gokar sejak 1 Oktober 2019 hingga 1 Oktober 2024, setelah menjabat posisi yang sama pada periode 2009–2014.
Sah-sah saja setiap orang, termasuk artis, menjadi anggota legislatif asal mampu melakukan tugasnya yang melekat: membuat undang-undang atau legislasi, menjalankan politik anggaran, dan melakukan pengawasan terhadap pemerintah.
Ada pula selebritas yang tak hanya mengandalkan kecantikan saat tampil di panggung politik. Wanda Hamidah, model dan aktris sinetron ini, ikut berpartisipasi dalam aksi mahasiswa pada awal era Reformasi saat penggulingan rezim Orde Baru. Ia kemudian memilih untuk meniti karier politik di Partai Amanat Nasional (PAN).
Wanda turut tampil mendampingi kampanye calon presiden Amien Rais dari partai berlambang matahari tersebut pada Pemilu 2004. Dalam perkembangannya, PAN termasuk partai yang diikuti banyak selebritas.
Tidak melulu menyanyi atau orasi, kehadiran di kampanye pun dapat mengangkat pamor kampanye parpol. Kehadiran artis seakan menjadi momentum yang dinantikan untuk mempertemukan idola dan penggemarnya.
Hal ini terlihat saat Marissa Haque yang aktif dalam politik disambut massa dalam kampanye PPP pada Pemilu 2009 di Bandung. Pesona selebritas artis era 1980-1990-an ini menarik perhatian sejumlah kader dan simpatisan partai saat kampanye berlangsung.
Para artis juga memberikan dukungan kepada kandidat presiden. Slank, grup musik rock dengan massa terbesar di Indonesia konsisten mendukung calon presiden pilihan mereka.
Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, Slank mendukung Joko Widodo. Kini, pada Pemilu 2024, Slank mendeklarasikan dukungannya kepada pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Bagi Slank, dukungan itu merupakan bentuk konsistensi mereka untuk memperjuangkan cita-cita Reformasi 1998. Adapun Ganjar-Mahfud menyebut dukungan itu sebagai energi penambah semangat.
Sehari sebelum masa kampanye terbuka pada Pemilu 2024 dibuka, Slank mendeklarasikan dukungan untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Di markas legendaris yang terletak di Jalan Potlot, Jakarta, Bimbim, Kaka, Abdee, Ivanka, dan Ridho sama-sama mengenakan jaket bomber hijau yang ditempeli beberapa emblem identitas Ganjar-Mahfud. Mereka mengumumkan lagu baru yang dibuat khusus untuk memompa semangat pemenangan pasangan calon nomor urut 3 itu, yang diberi judul ”Salam Metal”.
Slank juga langsung turun berkampanye pada hari pertama rapat umum yang digelar Ganjar-Mahfud. Bersama dengan sejumlah penyanyi dan grup musik lainnya, Slank bakal tampil dalam acara Hajatan Rakyat di Lapangan Tegallega, Bandung, Jawa Barat, Minggu (21/1/2024).
Sementara itu, musisi veteran Rhoma Irama yang pernah aktif di politik era Orde Baru dalam PPP ikut ambil bagian bersama bandnya, Soneta Group, dalam acara Desak dan Slepet Amin di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Senin (29/1/2024). Raja Dangdut itu akhirnya memutuskan untuk mendukung pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) dalam Pilpres 2024.
Layaknya dinamika politik, tak ada kawan dan lawan yang abadi. Artis pun demikian. Dukungan mereka terhadap kekuatan politik juga bisa berubah. Para seniman mempunyai kesempatan yang sama dengan warga negara lainnya untuk masuk ke gerai-gerai partai.
Ada yang benar-benar partisan. Para pesohor dengan ratusan ribu pengikut mereka bisa menjadi partisan setengah hati atau partisan yang ”malu-malu”. Sebagian dari mereka lalu terjun total dan loyal di satu partai. Mereka pun bisa meloncat ke mana-mana seperti halnya politikus.
Para artis memberikan dukungan kepada salah satu partai politik atau tokoh politik dalam pemilu berdasarkan pertimbangan kesamaan ideologi politik dan memberikan hiburan kepada para simpatisan partai, caleg, hingga capres-cawapres.
Dan satu hal yang tidak bisa dimungkiri, para artis naik panggung dan meramaikan pesta demokrasi karena banyak cuan-nya....