logo Kompas.id
EkonomiPerubahan Iklim Membuat Laut...
Iklan

Perubahan Iklim Membuat Laut Tak Lagi Sama

Krisis iklim semakin menurunkan kualitas hidup nelayan. Harapan ditumpukan kepada pemerintah mendatang.

Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
· 5 menit baca
Deretan kapal nelayan yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta Utara, Minggu (10/12/2023).
KOMPAS/PRIYOMBODO

Deretan kapal nelayan yang bersandar di Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zachman, Jakarta Utara, Minggu (10/12/2023).

Meredupnya perhatian terhadap isu kemaritiman dalam janji kampanye capres dan cawapres pada Pilpres 2024 menuai kekhawatiran terkait nasib nelayan di Tanah Air. Kehidupan nelayan yang masuk kategori termiskin dari kelompok masyarakat miskin ini kian terimpit krisis iklim dan kondisi laut yang tak lagi sama.

Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Dani Setiawan menuturkan, isu nelayan belum mendapat perhatian lebih dalam perhelatan Pilpres 2024. Hasil kajian memperlihatkan, belum ada perkembangan signifikan untuk menaikkan derajat sosial ekonomi serta kesejahteraan nelayan kecil dan tradisional dari kategori kelompok termiskin di Indonesia.

”Diperlukan kebijakan perlindungan, afirmasi, dan anggaran yang lebih kuat terhadap pahlawan pangan ini agar percaya diri menjadi nelayan dan semangat untuk berbudidaya ikan yang pada akhirnya mendorong kemandirian dan ketahanan pangan nasional,” katanya, dalam Diskusi Publik ”Harapan Nelayan pada Pemilu 2024: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi, Perlindungan Hak Tenurial, Reduksi Dampak Iklim dan Akses Energi Berkeadilan”, pertengahan pekan ini.

Rangkaian survei telah dilakukan KNTI selama April-Oktober 2023 terkait kondisi sosial ekonomi, persepsi perubahan iklim, penggunaan energi terbarukan, dan perlindungan hak tenurial. Responden merupakan anggota KNTI di lebih dari 26 kabupaten/kota di Indonesia.

https://cdn-assetd.kompas.id/PTKWYqvpuisLeKxf4cSh95TKETQ=/1024x1889/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F11%2F30%2F7c005154-fdb9-4a2b-918e-b68325859410_jpg.jpg

Dani mengemukakan, persoalan nelayan tidak hanya soal kesejahteraan, tetapi juga ruang hidup yang semakin terimpit. Sejumlah nelayan menghadapi ketidakpastian hak tenurial atas lahan dan rumah tinggal di pesisir dan lingkungan laut, ancaman penggusuran di pesisir akibat proyek strategis nasional, serta ancaman wilayah tangkap dari intrusi kapal asing, kapal besar, dan kapal pengguna alat tangkap yang merusak. Dicontohkan, nelayan di Tarakan (Kalimantan Utara) yang bertempat tinggal di atas air sulit mendapat sertifikat lahan.

Baca juga: Nelayan Kian Terancam

Sementara itu, kerentanan nelayan terhadap dampak perubahan iklim kian melekat. Nelayan menghadapi situasi yang sangat sulit akibat cuaca ekstrem dan gelombang tinggi. Keselamatan nelayan semakin tidak pasti, sedangkan perlindungan asuransi dan jaminan sosial tidak memadai. Perempuan nelayan turut menanggung beban perekonomian dan pemenuhan pangan keluarga jika suami tidak bisa melaut.

Ironisnya, berbagai persoalan nelayan cenderung direspons dengan kebijakan yang semakin menjauh dari semangat menjadikan laut sebagai masa depan serta poros pembangunan nasional untuk kesejahteraan masyarakat.

”Akhir tahun 2023, kita bahkan dikagetkan dengan kebijakan legalisasi ekspor pasir laut. Kebijakan ini tidak hanya merusak lingkungan laut dan mengganggu kehidupan nelayan, tetapi juga menguntungkan negara lain yang mengimpor dan memanfaatkan pasir laut dari Indonesia,” ujar Dani.

Perahu-perahu nelayan di Selat Madura, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (17/1/2024).
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Perahu-perahu nelayan di Selat Madura, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (17/1/2024).

Nelayan kecil dan tradisonal juga mengalami kesulitan dalam memperoleh bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sebanyak 82,8 persen responden nelayan kecil tidak memiliki akses terhadap BBM bersubsidi karena kurangnya infrastruktur, sarana, dan akses administrasi nelayan. Alokasi BBM solar bersubsidi 1,96 juta kiloliter (kl), tetapi solar bersubsidi yang bisa terserap hanya 516.000 kl.

Dani mengemukakan, kesungguhan pemerintah mendatang untuk menjadikan nelayan sebagai sektor prioritas perlu dibuktikan dengan penguatan perlindungan nelayan, kemudahan akses terhadap kebutuhan melaut dan permodalan, serta akses terhadap energi, yakni meliputi subsidi BBM dan adaptasi teknologi energi baru dan terbarukan.

Baca juga: Menakar Poros Maritim di Pilpres 2024

Ironi nelayan

Pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) KNTI, Miftahul Khausar, menambahkan, 97 persen dari sekitar 2 juta nelayan Indonesia masuk kategori nelayan kecil dan tradisional yang memiliki struktur armada kapal kecil maksimal berbobot 10 gros ton, alat tangkap sederhana, buruh nelayan, pengolah ikan skala kecil, dan pedagang kecil. Kekayaan sumber daya perikanan di Indonesia belum efektif meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil dan tradisional.

”Kemiskinan nelayan masih melekat meski dekat dengan sumber daya perikanan,” ujar Miftahul.

Nelayan berangkat menangkap ikan di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/11/2023). Nelayan Lamalera memiliki tradisi berburu paus, lumba-lumba, dan pari manta.
KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA

Nelayan berangkat menangkap ikan di Desa Lamalera A, Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, Rabu (22/11/2023). Nelayan Lamalera memiliki tradisi berburu paus, lumba-lumba, dan pari manta.

Iklan

Dari data Organisasi Perikanan Dunia menunjukkan, Indonesia tercatat sebagai produsen perikanan ke-2 terbesar pada 2020 dengan kontribusi terhadap perikanan global mencapai 8 persen. Kontribusi sektor perikanan terhadap produk domestik bruto pada 2021 tercatat 33 miliar dollar AS atau 2,77 persen dari PDB.

Namun, kemiskinan penduduk di pesisir Indonesia pada 2021 tercatat 11,02 persen atau lebih tinggi dari penduduk nonpesisir 8,67 persen. Pada 2022, jumlah nelayan miskin ekstrem tercatat 8,8 persen dari total penduduk miskin ekstrem di Indonesia.

Baca juga: Ironi Kemiskinan Wilayah Pesisir yang Kaya Potensi Ekonomi Kelautan

Hasil survei KNTI juga memperlihatkan, nelayan kecil menghadapi kesulitan besar dalam pemenuhan kebutuhan hidup minimal. Sebanyak 65 persen responden nelayan tidak mempunyai pekerjaan selain nelayan sehingga rentan terhadap perubahan iklim atau wilayah. Sementara itu, degradasi lingkungan dan krisis iklim kian menekan ruang hidup nelayan. Sebanyak 83,3 persen dari pantai dan pesisir nelayan di Tarakan (Kalimantan Utara) dan Gresik (Jawa Timur) mengalami kerusakan, di antaranya akibat gelombang tinggi, aktivitas pertambangan, dan industri.

Kondisi laut sudah mengalami perubahan. Situasi dan iklim sudah berbeda.

Green Faith Coordinator Indonesia, Hening Parlan, mengemukakan, kondisi laut terus mengalami perubahan sehingga laut yang dihadapi nelayan saat ini tidak sama dengan masa lalu. Suhu air laut semakin naik sehingga berdampak pada ekosistem, termasuk ikan. Nelayan kecil harus bergerak semakin ke tengah laut untuk menangkap ikan, sedangkan alat tangkap sederhana.

Seorang perempuan nelayan sedang memancing ikan di perairan pulau kecil di Dusun Sinaka, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Jumat (16/6/2023).
KOMPAS/YOLA SASTRA

Seorang perempuan nelayan sedang memancing ikan di perairan pulau kecil di Dusun Sinaka, Desa Sinaka, Kecamatan Pagai Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, Jumat (16/6/2023).

Kondisi laut yang berubah membuat hasil tangkapan dan keselamatan nelayan semakin tidak menentu. Sampai tahun 2020, jumlah kematian nelayan di Nusa Tenggara Timur dan Jakarta karena krisis iklim menjadi 250 orang.

”Kita menghadapi laut yang tidak seperti dulu, kondisi laut sudah mengalami perubahan. Situasi dan iklim sudah berbeda. Dengan cara yang dulu tidak bisa lagi dapat ikan yang sama banyak. Harus ada terobosan dari pemerintah terkait informasi tentang kondisi laut, alih teknologi yang lebih efektif, dan peningkatan keahlian nelayan,” ujarnya.

Pendekatan lain adalah menggerakkan masyarakat untuk bergabung dengan koperasi. Sebanyak 91,7 persen nelayan tidak mengetahui kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, koperasi menjadi sarana penghubung ke struktur pemerintah.

Intervensi negara

Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti mengemukakan, pihaknya tidak melihat ikatan kuat dari para kandidat terhadap nelayan. Isu laut dan nelayan cenderung menurun dalam Pemilu 2024 dibandingkan dengan kontestasi Pemilu 2014 dan 2019. Isu laut, pengelolaan, dan peningkatan kesejahteraan nelayan hanya menjadi isu umum, nelayan kurang mendapat perhatian yang memadai.

”Isu mengenai nelayan tidak dibahas, isu laut juga tidak banyak disinggung capres dan cawapres,” ujar Ray.

Baca juga: Balada Nelayan Bergulat dalam Kemiskinan

Perahu nelayan dari Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, berlayar di perairan Selat Malaka, Rabu (10/8/2022).
KOMPAS/AUFRIDA WISMI WARASTRI

Perahu nelayan dari Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara, berlayar di perairan Selat Malaka, Rabu (10/8/2022).

Pengamat ekonomi Revrisond Baswir mengemukakan, masalah keterbelakangan nelayan tidak bisa diselesaikan dengan logika pasar. Dalam perspeksif pasar, sektor yang tidak kompetitif akan dibiarkan mati. Nelayan yang tidak produktif didorong bermigrasi ke sektor lain yang lebih produktif. Akibatnya, nelayan dengan mayoritas pendidikan tamatan SD yang bermigrasi cenderung akan jadi buruh. Sementara itu, sektor perikanan yang ditinggalkan memicu masalah baru dalam hal kedaulatan pangan.

Di sisi lain, nelayan perlu beradaptasi memperbaiki taraf ekonomi dengan bergabung dalam koperasi. Hal itu untuk memudahkan intervensi negara dakam perbaikan hidup nelayan melalui koperasi.

”Masalah kemiskinan nelayan dan sektor perikanan tidak mungkin diatasi dengan logika pasar. Kehadiran negara berkolaborasi dengan koperasi untuk pemenuhan kehidupan nelayan harus juga mampu merawat kultur kehidupan nelayan serta mengembangkan sekolah dengan kurikulum yang relevan dengan kehidupan nelayan,” katanya.

Sebelumnya, dalam Indonesia Marine and Fisheries Business Forum 2024, tanggal 5 Februari lalu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengemukakan, jumlah penduduk pesisir mencapai 104 juta orang sehingga pihaknya menggandeng kementerian dalam negeri untuk mengembangkan percontohan usaha perikanan. Di antaranya, percontohan kampung nelayan modern. Investor didorong untuk menerima hasil produksi di kampung nelayan modern.

Seorang nelayan melintas di antara lanting atau rumah-rumah apung di Sungai Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimanten Tengah, Selasa (30/1/2024).
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Seorang nelayan melintas di antara lanting atau rumah-rumah apung di Sungai Kahayan, Kota Palangkaraya, Kalimanten Tengah, Selasa (30/1/2024).

Adapun Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Hadi Tjahjanto mengemukakan, masyarakat Indonesia banyak yang hidup di sepanjang garis pantai serta mengandalkan hidup dari sumber daya alam. Selain itu, potensi besar budidaya ikan. Akan tetapi, nelayan dan masyarakat yang hidup di sepanjang pantai tidak memiliki kepastian hukum atas tanah. Sinergi tersebut akan ditindaklanjuti dengan pengaturan tata ruang dan pertanahan.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Zainal Fatah mengemukakan, PUPR menyediakan infrastruktur dasar untuk tambak-tambak yang disediakan Kementerian Kelautan Perikanan, antisipasi tambak agar terhindar dari bahaya banjir, serta memperbaiki permukiman nelayan di sepanjang pantai Indonesia.

Editor:
AUFRIDA WISMI WARASTRI
Bagikan