logo Kompas.id
β€Ί
Ekonomiβ€ΊPengusaha Sebut Ada...
Iklan

Pengusaha Sebut Ada Diskriminasi di Sektor Jasa Hiburan

Perbedaan kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah mengakibatkan kerumitan penagihan pajak di lapangan.

Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
Β· 0 menit baca
Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani (tengah) menjelaskan uji materi yang diajukan para pelaku usaha di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (7/2/2024). Ia menilai, jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa didiskriminasi dalam penerapan Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
KOMPAS/YOSEPHA DEBRINA R PUSPARISA

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Hariyadi Sukamdani (tengah) menjelaskan uji materi yang diajukan para pelaku usaha di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Rabu (7/2/2024). Ia menilai, jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa didiskriminasi dalam penerapan Pasal 58 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

JAKARTA, KOMPAS β€” Para pelaku usaha yang tergabung dalam Gabungan Industri Pariwisata Indonesia atau GIPI menyatakan bahwa tidak ada argumen yang kuat dari pemerintah menetapkan pajak hiburan sebesar 40 persen hingga 75 persen. Besaran pajak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau UU HKPD itu dianggap sebagai praktik diskriminasi terhadap jasa hiburan.

”Inti dari gugatan kami, yaitu meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 58 Ayat (2) UU HKPD. Pasal ini berisi tentang perlakuan tarif yang berbeda untuk jasa hiburan. Jadi, kami meminta untuk dibatalkan,” ujar Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani di gedung MK, Jakarta, Rabu (7/2/2024), seusai pengajuan gugatan UU HKPD.

Editor:
ARIS PRASETYO
Bagikan