PHK Perusahaan Teknologi di Tengah Keramaian Pemilu 2024
Pada Januari 2023, pekerja ter-PHK secara nasional mencapai 2.867 orang, pada November 2023 naik jadi 57.923 orang.
Pekan lalu, jagat media sosial gempar membahas pemutusan hubungan kerja yang diam-diam sudah terjadi di sejumlah perusahaan rintisan bidang teknologi atau start up. Kabar itu berlangsung di tengah hiruk-pikuk kampanye Pemilihan Umum 2024. Salah satu pemilik akun di media sosial X, @morensya_, mencuit ”ada kabar silent lay off, ketutup debat capres keknya (sepertinya)”. Cuitan ini mendapatkan views lebih dari 800.000 kali, disukai lebih dari 5.000 kali, 141 komentar, dan mengalami repost di atas 1.000 kali.
Beberapa warganet yang ikut menuliskan komentar memberikan deretan nama start up yang diyakini sudah melakukan PHK, di antaranya Flip (start up teknologi finansial untuk pembayaran) dan Lazada (perusahaan teknologi di bidang lokapasar tingkat Asia Tenggara). Beberapa warganet lain berspekulasi mengenai penyebab PHK dan mengkhawatirkan jika perusahaan bersangkutan sampai tutup operasional.
Dalam keterangan resmi perusahaan, Flip mengakui ada PHK. Keputusan memangkas karyawan ditempuh perusahaan demi menjamin keberlangsungan bisnis. Kondisi perekonomian global yang tak menentu juga disebut manajemen jadi alasan.
Perusahaan lokapasar Lazada dikabarkan mengurangi sekitar 30 persen dari seluruh pekerja di wilayah Asia Tenggara. Beberapa pos eksekutif di kawasan pun dipangkas.
Kabarnya, keputusan Lazada itu dilakukan mendadak. The South China Morning Post pada Jumat (5/1/2024) menurunkan pernyataan The National Trades Union Congress(NTUC). Isinya, NTUC dan serikat afiliasinya, Food Drinks and Allied Workers Union (FDAWU), kecewa karena Lazada telah mulai upaya penghematan tanpa memberi tahu dan berkonsultasi dengan FDAWU. Apalagi, pekerja Lazada tergabung dalam serikat pekerja di bawah FDAWU. FDAWU telah mengirimkan surat kepada manajemen Lazada.
Mengutip CNA, PHK masih berlangsung. Beberapa karyawan menangis mendengar kabar PHK dan kebingungan dengan pengumuman yang tiba-tiba. Juru bicara Lazada mengatakan, perusahaan membuat penyesuaian proaktif untuk mentransformasi tenaga kerja, tetapi tidak menjawab pertanyaan CNA mengenai sejauh mana PHK ataupun alasan pengurangan karyawan.
Baca juga: Lazada Dikabarkan Kembali Lakukan PHK
Komoditas politik
Koordinator Divisi Advokasi dan Pendampingan Hukum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Jabodetabek Setyo A Saputro, Minggu (14/1/2024), di Jakarta, mengatakan, selain start up dan perusahaan teknologi besar, beberapa perusahaan yang bergerak di sektor media juga melakukan PHK beberapa minggu terakhir. Aksi tersebut tidak banyak terdengar di masyarakat luas. Beberapa pekerja yang menjadi korban sempat berdiskusi mengenai hak-hak usai terkena PHK, tetapi jarang mau melanjutkan ke pengadilan hubungan industrial.
Dia menyampaikan, industri teknologi yang di dalamnya ada start up digital kerap digadang-gadang oleh pemerintah sebagai industri masa depan. Saat Pemilu 2019, kandidat calon presiden dan wakil presiden memunculkan topik target jumlah start up bervaluasi 1 miliar dollar AS atau unicorn di Indonesia. Ketiga pasangan capres-cawapres Pemilu 2024 juga menyertakan gagasan tentang ekonomi digital, seperti digitalisasi dalam UMKM dan start up, ekonomi digital sebagai sumber pertumbuhan, seperti meratakan literasi digital. Hal yang Setyo khawatirkan adalah industri digital cuma jadi komoditas politik.
”Belum ada kejelasan program mendorong ekonomi digital. Digitalisasi industri dilepas begitu saja. Kalaupun terjadi PHK, PHK terjadi dalam suasana silent yang kami duga ini karena kesadaran hak pekerja di antara sejumlah karyawan belum masif,” kata Setyo.
Di sisi lain, dia mengatakan, omnibus law Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan PHK. Misalnya, dulu PHK karena rugi sehingga operasional harus tutup permanen. Kini, perusahaan tidak perlu tutup permanen.
Direktur Eksekutif Trade Union Rights Centre (TURC) Andriko S Otang, secara terpisah, berpendapat, fokus visi-misi pasangan capres-cawapres untuk ekonomi digital baru sebatas melihat tren perkembangan teknologi di masa mendatang. Daya tahan dan keberlanjutan bisnis digital belum sampai dianalisis mendalam supaya lebih berkelanjutan.
Belum ada kejelasan program mendorong ekonomi digital. Digitalisasi industri dilepas begitu saja.
Mengutip The Conversation, ketiga pasangan capres-cawapres Pemilu 2024, sesuai hasil penelusuran dokumen visi-misi, masih mengesampingkan urgensi penguatan ekosistem digital nasional melalui tata kelola pasar digital yang adil, terbuka, dan melindungi hak konsumen serta pekerja. Adanya tata kelola pasar digital bisa berfungsi pula mencegah monopoli pasar dari perusahaan teknologi besar yang menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Lapangan kerja di sektor industri teknologi digital, kata Andriko, menantang. Bisnis model start up kerap kali belum jelas sehingga sering terjadi restrukturisasi dan mengancam gelombang PHK. Kompetisi dalam pasar digital tergolong tinggi. Start up dengan suntikan modal besar biasanya mampu menyelenggarakan promo terus-menerus, memikat konsumen, dan pelan-pelan mematikan start up lainnya. Situasi tersebut membuat pekerja yang bekerja di sana rentan.
Menurut dia, pemerintah saat ini semestinya tidak bisa hanya fokus ke start up. Pemerintah perlu menata kembali sektor industri manufaktur yang sejauh ini masih menjanjikan nilai ekonomi yang besar.
Pemerintah perlu memperkuat penegakkan hukum terhadap pekerja, apalagi yang mengalami PHK secara mendadak. Lalu, pemerintah mewajibkan perusahaan teknologi besar dan start up melakukan pengembangan keterampilan secara berkelanjutan kepada karyawan selama berada dalam hubungan kerja.
”Pemerintah pun perlu mempersiapkan skema jaring pengaman sosial. Meski sudah ada program jaminan kehilangan pekerja (JKP), JKP belum mudah dijangkau seluruh pekerja, materi pelatihan, sampai akses ke pasar kerja belum sesuai kebutuhan,” kata Andriko.
Valuasi perusahaan
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, industri start up sempat meledak karena ekspektasi valuasi perusahaan yang berlebih dibandingkan dengan realitas bisnis. Sebelum pandemi Covid-19, suku bunga di beberapa negara rendah sehingga aliran penyertaan investasi ke industri itu melimpah. Namun, saat suku bunga sudah merangkak naik sehingga ongkos investasi mahal, valuasi sejumlah start up juga mengalami koreksi.
Tauhid juga sependapat dengan Andriko bahwa pemerintah harus berhati-hati memunculkan wacana memajukan start up. Sebab, tanpa fondasi bisnis yang kuat, start up akan mudah gugur.
”Pada akhirnya, sektor industri apapun akan ada lima sampai sepuluh perusahaan yang dominan. Persaingan industri teknologi lebih berat karena berkompetisi langsung dengan industri skala internasional. Angkatan kerja yang ingin bekerja ke industri ini perlu memiliki keterampilan tinggi, selain paham cara bisnisnya bekerja,” ujar Tauhid.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, berpendapat, regulasi ketenagakerjaan yang sudah ada, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sudah cukup mengakomodasi tenaga kerja di hulu-hilir industri teknologi. Penegakan hukum dari UU ini yang perlu diperkuat, seperti memastikan hak-hak pekerja korban PHK ataupun putus kontrak terpenuhi sesuai regulasi. Di dalam omnibus law Cipta Kerja, sudah diatur pekerja yang habis kontrak mendapat kompensasi.
Dia menyampaikan, apabila terjadi silent lay off, ini biasanya karena pekerja mendapat pesangon yang sangat cukup sehingga PHK tidak ramai di publik. Namun, dalam konteks start up yang sekarang sedang masuk fase bertahan, pemerintah perlu turun langsung mengawasi sejauh mana komitmen pembayaran hak pekerja dijalankan oleh start up.
”Mendorong keberlanjutan lapangan kerja di sektor industri teknologi tentu saja tidak cukup hanya memakai program JKP. Hal terpenting adalah membuat industrinya berkelanjutan. Topik yang jarang dibicarakan pemerintah adalah membuat industri teknologi berkelanjutan,” katanya.
Mengutip laman layoffs.fyi, di tingkat global sepanjang 2023, sebanyak 1.185 perusahaan teknologi melakukan PHK terhadap sekitar 262.000 karyawan. Pada 2022, sebanyak 1.064 perusahaan teknologi melakukan PHK terhadap sekitar 164.000 karyawan. Nama-nama besar perusahaan teknologi termasuk yang melakukan PHK seperti Google, Meta, dan Amazon. Laman layoffs.fyi tidak menampilkan data sebelum 2022.
Di Indonesia, sepanjang 2023 terdapat beberapa perusahaan teknologi besar memangkas karyawan, misalnya GoTo, Shopee, RuangGuru, Zenius, dan SayurBox. Pada tahun yang sama, sejumlah perusahaan teknologi tutup permanen, di antaranya JD.ID dan Fabelio.
Jumlah tenaga kerja yang mengalami PHK di 34 provinsi sepanjang Januari - November 2023, sesuai data di laman satudata.kemnaker.go.id, mengalami kenaikan dari bulan ke bulan. Pada Januari 2023, jumlah pekerja ter-PHK secara nasional mencapai 2.867 orang. Lalu pada November 2023, jumlahnya naik menjadi 57.923 orang. Data yang tercantum di laman satudata.kemnaker.go.id diolah Kementerian Ketenagakerjaan dari dinas tenaga kerja.
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker Indah Anggoro Putri, saat dikonfirmasi, menjelaskan, perusahaan apa pun tidak boleh melakukan PHK dadakan. Jika PHK menjadi jalan terakhir yang harus dilakukan, aksi PHK harus sesuai aturan ketenagakerjaan dan disepakati manajemen karyawan. Setelah itu, semua hak pekerja sesuai kesepakatan harus diselesaikan.
”Jika semua pihak (karyawan dan manajemen) sepakat, aksi PHK biasanya tidak lapor ke kementerian,” katanya.