logo Kompas.id
โ€บ
Ekonomiโ€บGodot Pergaraman
Iklan

Godot Pergaraman

Lemahnya tata niaga garam nasional membuat nasib petambak garam selalu diliputi ketidakpastian setiap musim panen dan kian sulit bangkit dari jerat kemiskinan.

Oleh
BM Lukita Grahadyarini
ยท 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/k3e_wkK2CfWPcSYyR9PeXxcgIMI=/1024x627/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F6015993b-a8b7-4987-a8d2-946d1271346a_jpg.jpg
Kompas/Bahana Patria Gupta

Ladang garam prisma milik Arifin Jamiโ€™an dilihat dari udara di Desa Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kecamatan Lamongan, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Jumat (3/7/2020). Pengolahan garam dengan metode rumah prisma tersebut memungkinkan Arifin panen sepanjang tahun. Garam hasil olahannya dijual Rp 900 per kilogram.

Mulai September 2020, berlangsung musim panen raya garam. Sejatinya, petambak garam Tanah Air bisa menikmati hasil panen. Namun, nasib petambak garam kini terpuruk.

Produksi garam dalam negeri sangat dipengaruhi iklim. Cuaca kemarau menjadi pertanda hasil panen bagus. Sebaliknya, jika kemarau basah, hasil produksi tidak optimal. Faktor lain, mekanisme pasar. Ketika produksi tidak optimal, harga jual ikut terkerek naik. Demikian pula sebaliknya.

Editor:
Hendriyo Widi
Bagikan