logo Kompas.id
β€Ί
Pendidikan & Kebudayaanβ€ΊTrauma Diskriminasi Panjang...
Iklan

Trauma Diskriminasi Panjang Para Penghayat Kepercayaan

Para penghayat kepercayaan rentan disisihkan karena masih ada stigma bahwa kepercayaan mereka adalah aliran sesat. Mereka kerap mengalami trauma karena mengalami diskriminasi berkepanjangan.

Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/uIuBLGPDohSX8YhbN_hnTBrDXw8=/1024x682/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F02%2Fkompas_tark_24985120_38_0.jpeg
Kompas

Perempuan perwakilan penyintas penganut kepercayaan leluhur menyampaikan doa bersama di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (3/8). Pada acara tersebut, diserahkan hasil pemantauan kekerasan dan diskriminasi, kondisi pemenuhan HAM dan hak-hak konstitusional bagi perempuan penganut agama kepercayaan leluhur serta pelaksana ritual adat, dengan harapan agar para penganut agama leluhur dapat menikmati haknya untuk berdaulat dalam keyakinan dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan diskriminasi berbasis agama.

Dianggap penganut aliran sesat bukan hal baru bagi penghayat Kepercayaan terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa. Diskriminasi sudah menjadi ”teman” para penghayat selama puluhan tahun. Mereka berharap situasi ini segera berubah.

Bertahun-tahun lalu, Ketua Puan Hayati Pusat Dian Jennie Cahyawati menikah secara agama. Sebagai penghayat kepercayaan, itu satu-satunya cara menikah secara legal. Pernikahan berbasis Kepercayaan terhadap Ketuhanan YME belum diakui saat itu. Pernikahan terpaksa dilakukan sambil mengucap kalimat yang tidak ia imani.

Editor:
Aloysius Budi Kurniawan
Bagikan