logo Kompas.id
β€Ί
Pendidikan & Kebudayaanβ€ΊKesehatan Reproduksi...
Iklan

Kesehatan Reproduksi Dipertaruhkan

Perkawinan anak memicu berbagai persoalan kesehatan, terutama pada anak perempuan dan keturunannya. Namun, perkawinan anak terus terjadi, bahkan di masa pandemi.

Oleh
Tim Kompas
Β· 1 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/GpnCelfkzuy03zqmXZg_1aQetJ8=/1024x683/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F04%2F72832652-2c0b-42ab-b494-071bd6417e3a_jpg.jpg
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA

LA (jilbab hitam, kiri) yang baru berusia 17 tahun ditemani ibunya NR (48) menidurkan anaknya AAC (8 bulan) di ayunan dari kain yang digantung pada berugak (saung) di tempat tinggal mereka di salah satu desa di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Jumat (16/4/2021) lalu. Dalam usianya saat ini, LA sudah tiga kali menikah dan dua kali bercerai. Pernikahan pertamanya saat ia berusia 14 tahun. Kasus perkawinan anak seperti LA, merupakan salah satu persoalan utama di Nusa Tenggara Barat.

JAKARTA, KOMPAS – Perkawinan anak bisa menghambat tumbuh kembang anak, terutama berisiko pada kesehatan reproduksi anak perempuan. Kehamilan pada seorang anak perempuan menimbulkan risiko tidak hanya pada anak tersebut, tapi juga terhadap keturunannya, bahkan sampai generasi berikutnya.

Dalam jangka panjang, tingginya kejadian perkawinan anak dapat mengancam kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Sebab, jumlah anak yang lahir dari ibu yang berusia anak, sangat berkaitan dengan tingginya angka stunting atau tengkes di Indonesia.

Editor:
evyrachmawati
Bagikan