logo Kompas.id
›
Utama›Rasa Manis yang Berisiko
Iklan

CATATAN iptek

Rasa Manis yang Berisiko

Semua suka makanan dan minuman manis. Meski pola diet tinggi gula itu dalam jangka panjang bisa memicu obesitas, kerusakan gigi, dan penyakit degeneratif, banyak orang sulit menghindari makanan dan minuman manis.

Oleh
M Zaid Wahyudi
· 1 menit baca
https://assetd.kompas.id/RzdA3igbTWdhBZnbJZsjw4L7-SY=/1024x576/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F11%2F66134481.jpg
KOMPAS/STEFANUS OSA TRIYATNA

Makanan manis menjadi favorit saat berbuka, padahal tak selalu menyehatkan. Teh manis ditambah camilan manis dijadikan sajian awal berbuka puasa setelah seharian menahan lapar dan dahaga. Antrean meraih manisnya sajian ini terlihat dalam sebuah acara berbuka puasa bersama yang diselenggarakan agen pemegang merek Mitsubishi di sebuah restoran di Jakarta, pada Juni 2018.

Kesukaan akan rasa manis merupakan bawaan lahir, diwariskan lintas generasi. Sebagai pengumpul makanan, nenek moyang manusia tahu makanan manis jadi sumber energi.

Amy Reichelt, ahli neurosains Universitas Western, Ontario, Kanada, dalam theconversation.com, Jumat (15/11/2019), mengatakan, saat rasa manis dicecap, sistem penghargaan otak aktif, melepaskan dopamin dan memunculkan rasa senang.

Editor:
Bagikan

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi di halaman 10 dengan judul "Rasa Manis yang Berisiko".

Baca Epaper Kompas
Terjadi galat saat memproses permintaan.
Memuat data...
Memuat data...