Nola Marta, Tapis yang Menyejahterakan Perajin
Desainer Nola Marta fokus mengembangkan kain tapis dari Lampung serta memberdayakan perajin ke level dunia.
Nola Marta (43) terpincut dengan keindahan kain tapis dari Lampung selama delapan tahun terakhir. Desainer kelahiran Jakarta ini lantas mengembangkan pesona tapis yang elegan ke pasar dunia. Terlebih itu, ia menciptakan ekosistem yang berdampak positif pada kesejahteraan perempuan perajin lokal.
Cerita bermula ketika Nola bergabung dalam program Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara (Ikkon) inisiatif Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) tahun 2016. Dia dan sejumlah desainer lainnya mendapat penempatan di Lampung untuk melakukan residensi dengan pelaku kreatif lokal. Di sana, perempuan ini berkenalan dengan kain tapis.
Menurut buku Tapis: Kain Tradisional Masyarakat Lampung (2012), kain tapis adalah jenis tenunan berbentuk seperti kain sarung yang dipakai kaum hawa. Kain ini terbuat dari benang kapas dengan hiasan sulaman benang emas, benang perak, atau sutra pada bidang tertentu yang menggunakan sistem sulam. Sejarah mencatat, tapis telah muncul dalam prasasti Raja Balitung pada abad ke-9 M.
Saya coba membawa tapis ke pasar internasional supaya juga bisa diterima sama orang lokal. Pasar lokal itu biasanya mau lebih menerima ketika produk tersebut sudah mendapat eksposur di luar negeri. Ini juga saya lakukan untuk mendorong anak-anak muda di Lampung bangga meneruskan profesi ibu mereka.
Di Lampung, Nola berkolaborasi dengan sembilan ibu perajin di Desa Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran. Letaknya sekitar satu jam dari ibu kota provinsi. Bersama mereka, Nola mencoba membuat kain tapis dari bahan baru, seperti kain organza, sutra, dan kulit.
”Proyek di sana cuma empat bulan. Tetapi, saya kembali ke Lampung pada tahun berikutnya untuk mengembangkan tapis dengan sentuhan modern dan bisa untuk sehari-hari tanpa menghilangkan konteks budaya. Waktu itu, pembuatan tapis masih sangat tradisional,” kata Nola dalam wawancara virtual dari Bali, Rabu (23/10/2024).
Nola memperkenalkan kain tapis dengan inovasi baru itu dalam berbagai kesempatan. Sang desainer, contohnya, meluncurkan koleksi bertajuk A Journey yang merupakan hasil kolaborasi dengan perajin di Desa Negeri Katon dalam acara Indonesia Fashion Week 2018 dan 2019.
Namun, itu tidak cukup. Tidak hanya di ajang-ajang domestik, Nola lanjut memperkenalkan kain tapis dalam koleksi A Season of Change berkolaborasi dengan dua desa di Lampung pada Couture Fashion Week New York 2019.
”Saya coba membawa tapis ke pasar internasional agar bisa diterima sama orang lokal. Pasar lokal itu biasanya mau lebih menerima ketika produk tersebut sudah mendapat eksposur di luar negeri. Ini juga saya lakukan untuk mendorong anak-anak muda di Lampung bangga meneruskan profesi ibu mereka,” ucap Nola.
Upaya Nola mempromosikan tapis berlanjut bahkan setelah dia menetap di Bali sejak 2021. Di Pulau Dewata tersebut, dia mempunyai galeri di Tibubeneng, Badung. ”Bali merupakan hub yang pas untuk pasar internasional. Kami mempunyai pembeli dari berbagai negara, seperti Inggris, Belanda, Qatar, dan Perancis,” kata desainer yang telah berkarier sejak 2002 ini.
Baca juga: Anjani, Peramu Batik Banteng Agung Kota Batu
Pengembangan tapis oleh Nola tak hanya sebatas pakaian uniseks. Kain tapis disulap menjadi dompet, taplak meja, tatakan gelas, dan tatakan piring. Benang yang digunakan pun bervariasi, mulai dari benang katun, wol, kasur, kulit, sampai serat daun. Sekarang, Nola tengah menyiapkan koleksi tapis untuk Paris Fashion Week tahun depan sembari mengembangkan aplikasi mode bernama Et Voila!
Gorengan perajin
Di belakang kibasan indah kain tapis, ada sosok para perajin yang berjasa. Sejak 2016, Nola berkolaborasi dengan sembilan perempuan perajin di Desa Negeri Katon dengan membentuk kelompok Katon 9. Dia kemudian menambah jumlah perajin yang terlibat. Setiap perajin Katon 9 mempunyai dua wings alias semacam murid atau asisten.
Seiring waktu, proyek Nola merambah ke perajin di desa-desa kabupaten lainnya, seperti Pringsewu, Tulang Bawang Barat, Tulang Bawang, Pesisir Barat, dan Tanggamus. Namun, ekosistem yang telah terbangun kuat tetap berada di Pesawaran. Hingga kini, dia telah berkolaborasi dengan total 47 perajin.
Nola melatih mereka cara pembuatan kain tapis sesuai tuntutan pasar. Ilmu ini juga sering dia bagikan dalam berbagai pelatihan dengan instansi setempat. Kebersihan, salah satunya, pernah menjadi tantangan. Menjahit kain tapis merupakan aktivitas keseharian ibu-ibu di waktu senggang seusai mengurus keluarga dan bertani. Pada saat itulah, mereka menjahit bersama sembari meneguk kopi dan mengunyah gorengan, atau ngemong (mengasuh) anak.
”Kadang, remah-remah gorengan masuk ke dalam benang atau ketumpahan jus jeruk. Kalau kain sutra, itu pasti rusak. Saya pelan-pelan menjelaskan kepada mereka tentang kerugian kalau kain rusak,” kata Nola. Sebagai gantinya, ibu-ibu mendapat waktu istirahat dan mendapat insentif jika karyanya bagus.
Bicara tentang apresiasi, Nola menciptakan sistem pembayaran empat inci (atau pembayaran per 10 sentimeter). Penghitungan pembayaran bergantung pada jenis benang, dasar bahan, dan teknik yang diterapkan perajin. Jika perajin ”jago” (andal), ia bisa menyelesaikan jahitan empat inci dalam 1,5 jam.
Bayaran untuk setiap empat inci tersebut setara dengan bayaran saat perajin bekerja selama 15 hari dengan tengkulak. Beda jauh memang. ”Dengan penduduk Indonesia yang banyak, kita tidak mungkin mengganti tenaga kerja manusia dengan teknologi digital, tetapi lebih baik mengembangkan mereka,” ujar Nola.
Pelan-pelan, kehidupan perajin membaik. Rumah mereka sudah tembok, uang belanja bulanan bertambah. Mereka bisa bekerja sama dengan desainer lain karena keterampilan membuat produk premium dan pemahaman bisnis bertambah. Anak-anak juga bangga bisa bercita-cita menjadi seperti ibu mereka.
Selama delapan tahun berkarya, Nola mendapat beragam pengakuan. Salah satunya, Nola menjadi penerima apresiasi SATU Indonesia Award tingkat Provinsi di Jakarta untuk bidang kewirausahaan dari Astra tahun 2019. Ia berencana mengembangkan tapis sampai 2026, lalu lanjut mengembangkan wastra dengan teknik bordir dari daerah lainnya.
Baca juga: Darius Irenius, Seni dari Benda di Sekitar
”Saya tertarik dengan tapis karena sejalan dengan pandangan saya tentang slow fashion dan circular fashion. Saya senang tapi bisa diaplikasikan tanpa kita harus menciptakan baju baru, umur baju menjadi lebih panjang, dan ada nilai tambah pada pakaian yang sudah ada,” kata Nola.
Nola Marta
Lahir: Jakarta, 11 Agustus 1981
Pendidikan, antara lain:
- Sertifikat Kursus Singkat dalam Pembuatan Pola, Esmod, 2007
- S-1 Akuntansi, Universitas Bung Karno, 1999
Pekerjaan: Desainer, Pendiri, dan Direktur PT Kreasi Merajut Asa
Prestasi, antara lain:
- Penerima Apresiasi SATU Indonesia Award tingkat Provinsi, Jakarta, Astra, 2019
- Penerima Australia Awards-Short Term Awards, International Business Readiness in Fashion Industry, Queensland University of Technology, 2017-2018
- Penerima Australia Awards-Short Term Awards, Transformational Business Leadership, Queensland University of Technology, 2018-2019
- Finalis IYCE (International Young Creative Entrepreneurs), British Council, 2008