Merenda Waktu
Aku jadi malu. Mungkin perempuan itu memiliki indera ke enam bisa membaca gelagatku di tempat yang agak jauh.
Hampir senja. Perempuan lingsir itu sebentar lagi akan meninggalkan kebun, masuk ke dalam rumahnya. Setelah magrib biasanya dia tak keluar lagi, tenggelam dalam lautan malam: sembahyang, mengaji atau kegiatan lainnya sampai tertidur dan bangun ketika fajar menebar harapan hidup yang damai.
Sudah lama aku perhatikan perempuan itu. Aku sering melihatnya di kebun yang cukup luas di seputar rumahnya yang saban hari dia kunjungi. Kadang dari siang hingga sore berasyik-masyuk dengan bunga, tanaman herbal untuk obat-obatan dan bumbu dapur, sayur mayur dan tanaman lain serta bebatuan indah yang tertata indah menyerupai taman. Kulitnya sudah keriput, tubuhnya agak bungkuk, namun sisa-sisa kecantikan masih tergurat di wajahnya yang bercahaya. Sorot matanya memancarkan keteduhan jiwa.