logo Kompas.id
โ€บ
Sastraโ€บYai
Iklan

Yai

Setelah pengumuman dari Kepala Dusun, Salam yang masih belum tidur sejak semalam maju mendekati mayat buaya tersebut.

Oleh
WINDY SHELIA AZHAR
ยท 2 menit baca
-
HARI BUDIONO

-

Salam menatap sungai dengan nanar. Kedua tangannya sigap mengokang popor senapan. Ia berwajah paling marah dibanding teman-temannya yang ikut lesak di perahu tua itu. Merah padam wajahnya seakan pembuluh darahnya pecah semua. Gemeletuk giginya beradu dengan sengal napasnya yang kembang-kempis. โ€Bangโ€ฆ stttโ€ฆ.โ€ Desisnya pelan serupa gumam. Rekan di samping kirinya menempelkan telunjuk ke depan bibir seraya mengusap bahu Salam sebagai isyarat bahwa ia harus menjaga suasana demikian senyap dan sedikit lebih bersabar.

Malam ini adalah malam yang demikian lain. Sebetulnya, ini bukan kali pertama Salam dan rekan-rekannya bersembunyi di atas perahu menyusuri sungai. Dalam beberapa kesempatan mereka menghabiskan jam-jam menegangkan dengan petugas yang giat patroli. Buru-buru menutupi mesin rajuk dengan beragam perdu dan kayu basah demi mengelabui para lelaki berbaju preman namun mengantongi izin penangkapan tersebut. Sekali dalam kurun hidupnya, Salam bahkan berhadapan dengan petugas dari negeri tetangga yang menjaga pintu perbatasan di Malaka. Mereka menadah satu slof Dji Sam Soe yang bagi Salam lebih mudah disiapkan daripada seonggok buku kecil dengan syarat tumpukan berkas tetek bengek yang tak pernah ia paham apa isi tulisannya sebagai syarat memasuki pintu negeri lain. Sedikit basa-basi-busuk, Salam berhasil membawa masuk selundupan bijih balok yang dihargai beberapa ratus ribu rupiah tersebut. Dari beragam pengalamannya, malam ini adalah yang paling gila. Sebab Salam sedang tak berhadapan dengan manusia.

Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Bagikan