CERPEN
Bila Lelah
Dari balik meja pesakitan, San tersenyum suam, sesuam yang ia bisa agar putrinya, yang duduk kaku di bangku belakang.

-
Tatkala jaksa bertanya kepadanya, apakah ia menyesal, San, di balik bilik pesakitan, memejamkan mata sejenak, membuka kelopak, lantas tersenyum suam yang bisa melelehkan mentega mana pun yang terlalu lama disimpan di kulkas. ”Tentu saja saya menyesal,” ucapnya lembut dan tertata. ”Seharusnya saya tak langsung menikam pembuluh besar di lehernya, tetapi terlebih dahulu mengiris lidahnya yang kejam, lengannya yang kasar, dari tungkainya yang jahanam, atau mungkin lebih baik saya mengulitinya sedikit demi sedikit seperti melepas pelapis dinding dengan perlahan, teramat pelan, hingga ia melolong-lolong kesakitan. Jika ada keajaiban, dan ia bisa dihidupkan kembali, tentu saya akan melakukannya lagi, lagi, dan lagi.”
Ruang sidang disesaki gemuruh. Kilatan lampu terang, dari kamera ataupun ponsel, menyambar-nyambar wajah San, membuat ia menutup matanya erat-erat, hingga berjejak kerut-kerut di ujung kelopak, tapi setelah itu, ia membuka mata lebar-lebar, menghadap ke depan, dan, berbeda dari sebelumnya, kali ini ia tersenyum lebar. Sangat lebar. Membuat jaksa menyeringai puas, sambil diam-diam mengepalkan tangan tanda kemenangan di balik meja, sementara sang pengacara, melenguh kesal, melontarkan tatapan kecewa kepada San, dan diam-diam meremas kertas berisi catatan pembelaan dengan geram. Hakim mengetuk palu untuk menenangkan seisi ruang sidang, mengatakan sidang akan dijeda sebentar hingga hakim memutuskan vonis paling tepat untuk San.