logo Kompas.id
SastraCumbu Ular
Iklan

CERPEN

Cumbu Ular

Usai pembunuhan misterius seorang pemuda di hutan, penduduk desa lebih sibuk mengurusi serang para tikus di ”pele-pele” penyimpanan panen dan bibit.

Oleh
RISDA NUR WIDIA
· 1 menit baca
-
NUGRAHARDI RAMADHANI

-

Kawa berlari seperti babi betina yang panik dikejar harimau. Rimbun semak berduri hutan Soe ia terjang dengan badan bergetar. Gadis berambut ikal itu tidak memedulikan luka-luka kecil yang menerpa kulit sawo matangnya—hingga darah merekah menghiasi kedua tangan-kakinya. Dan di bawah cahaya bulan yang perak, tubuhnya seolah menjelma menjadi angin yang tidak dapat dihentikan oleh apa pun. Malam itu Kawa berusaha lari sejauh mungkin dari kejaran anak buah ahelet untuk menjadikannya sifon.

Dalam situasi ketakutan, sepasang sungai kesedihan tanpa sadar mengalir deras di ujung pelupuk matanya. Sepasang sungai kesedihan itu tiada henti menghanyutkan perasaan kecewa pada papanya yang menjualnya sebagai sifon. Tangisan gadis berkaki mungil itu bercampur dengan deru bara kemarahan di dadanya pada seorang ana’tobe bernama Balene. Pria jangkung itulah sumber petaka yang dijalaninya. Barangkali bila tidak ada pria itu hidupnya akan baik-baik saja.

Editor:
MOHAMMAD HILMI FAIQ
Bagikan
Terjadi galat saat memproses permintaan.
Memuat data...