Binar yang Memudar dari Matanya
Kunci mobil dan tumpukan uang didorong hingga semakin dekat denganku. Hantu kegagalan meniupkan bisik ke telinga. Ingatakanku terlempar pada kesuksesan kedua kakak, pada ekspresi Ibu saat melihat mobil baru kakak.
Dari tiga anak Ibu, akulah satu-satunya anak yang gagal. Kakak pertama sudah jadi manajer di sebuah perusahaan multinasional. Rumahnya besar dengan tiga mobil mewah berjajar di garasi. Kakakku yang kedua bekerja di tambang minyak. Ia pulang ke rumah sebulan sekali. Di saat itu ia hampir selalu membeli jam tangan baru, ponsel baru, atau barang-barang baru lainnya. Aku sendiri bekerja di sebuah kantor pemerintah daerah yang diangkat sebagai pegawai negeri bukan karena lulus tes, melainkan karena masa pengabdian yang sudah terlalu lama. Meskipun begitu, Ibu selalu bilang, βJangan risau. Hal-hal yang begitu bukan masalah bagi Ibu.β
Aku tahu bahwa kasih Ibu seperti cahaya bintang yang bisa menenangkan di saat gundah dan bisa jadi petunjuk saat tersesat, tetapi fakta bahwa aku orang gagal tetap menghantui setiap hari. Hantu itu semakin membesar dan menggelayuti tengkukku setiap jadwal rutin berkumpul di rumah Ibu tiba. Kedua kakakku selalu membawa dan memberikan oleh-oleh. Ibu selalu menyambut dan menerima oleh-oleh tersebut dengan senyum mengembang penuh, raut ceria, dan mata berbinar. Aku tentu juga membawa sesuatu, biasanya martabak manis dengan isian cokelat kacang. Kadang-kadang aku juga membawa benda atau makanan ringan lain. Akan tetapi, barang-barang yang kubawa pasti kalah pamor dibanding barang-barang bawaan kakak-kakakku.