logo Kompas.id
RisetMetode Mencoblos di Pemilu...
Iklan

Metode Mencoblos di Pemilu Tetap Andal walau Terkesan Tertinggal

Indonesia masih menggunakan metode coblosan untuk pemungutan suara. Mengapa demikian?

Oleh
YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI
· 3 menit baca
Warga mencoblos surat suara saat mengikuti simulasi pemungutan suara Pemilu 2019 yang digelar KPU Kota Magelang di Alun-alun Kota Magelang, Jawa Tengah, Kamis (28/3/2019). Simulasi tersebut digelar sebagai bagian upaya sosialisasi untuk meningkatkan partisipasi pemilih.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Warga mencoblos surat suara saat mengikuti simulasi pemungutan suara Pemilu 2019 yang digelar KPU Kota Magelang di Alun-alun Kota Magelang, Jawa Tengah, Kamis (28/3/2019). Simulasi tersebut digelar sebagai bagian upaya sosialisasi untuk meningkatkan partisipasi pemilih.

Metode mencoblos memperoleh kesan terbelakang dan identik dengan situasi masyarakat dengan literasi rendah. Namun, coblosan masih langgeng di Indonesia dengan kesederhanaannya dan menjelma menjadi suatu penanda hajatan demokrasi.

Pemilu menjadi mekanisme penentu siapa yang akan menjadi pemimpin pemerintahan negara dengan sistem demokrasi. Cara pemungutan suara yang diterapkan menyesuaikan dengan situasi demografi dan kemampuan teknologi suatu negara. Secara garis besar, keragaman metode terbagi menjadi dua kelompok, yakni cara digital dan manual.

Pemerintah Indonesia pertama kali menyelenggarakan pemilu pada 1955. Sepanjang sejarah pemilu di negara ini, hanya satu kali metode pemilihannya dengan cara mencontreng, yakni saat Pemilu 2009. Selain di tahun tersebut, pemilih menandai surat suara dengan cara mencoblos.

Tidak diteruskannya metode contreng dan dilanjutkannya cara mencoblos menyimpan makna yang menarik untuk ditelusuri. Sebab, cara menandai surat suara sarat akan cerminan peradaban suatu bangsa.

Para pemilih antusias mendatangi TPS di Jakarta pada Pemilu 1999, Senin (7/6/1999). Mereka sabar mengantre untuk mencoblos gambar calon pilihannya.
KOMPAS/MULYAWAN KARIM

Para pemilih antusias mendatangi TPS di Jakarta pada Pemilu 1999, Senin (7/6/1999). Mereka sabar mengantre untuk mencoblos gambar calon pilihannya.

Arsip Kompas edisi 11 September 2008 memberitakan, dasar alasan contreng dipilih sebagai penanda surat suara yang sah. Pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyampaikan alasan mendasar dipilihnya metode contreng. Alasan pemilihan tanda centang atau contreng sebagai pemberian suara sah pada kertas suara Pemilu 2009karena KPU menganggap lebih mudah dan sudah dikenal. Tanda yang biasa dipakai dalam mengerjakan berbagai jenis soal adalah tanda contreng, lingkaran, dan silang. Ketiga jenis tanda itu sudah terbiasa digunakan masyarakat Indonesia.

Selain mencontreng, sempat muncul gagasan bahwa pemilih harus menuliskan nama kandidat dan nama partai yang dipilih pada surat suara. Usulan tersebut mencuat saat pembahasan RUU Pemilu (Kompas,3/10/2008).

Metode contreng, apalagi usulan menuliskan nama calon dan nama partai, sontak menuai pro dan kontra kala itu. Pihak yang kontra meyakini bahwa mencontreng akan membingungkan masyarakat yang selama ini sudah terbiasa dengan mencoblos sehingga berpotensi menimbulkan kebingungan dan meningkatkan jumlah surat suara tidak sah. Apalagi, menuliskan nama orang dan nama partai di surat suara akan lebih rumit dan memakan waktu.

Warga Kampung Sota, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, antusias menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2024, Rabu (14/2/2024). Sebagian wilayah Papua menggunakan sistem noken dalam pemungutan suara.
KOMPAS

Warga Kampung Sota, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, antusias menggunakan hak pilihnya di Pemilu 2024, Rabu (14/2/2024). Sebagian wilayah Papua menggunakan sistem noken dalam pemungutan suara.

Iklan

Metode mencoblos dianggap sebagai cara yang ”terbelakang”. Hal ini, antara lain, pernah disampaikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla saat jumpa pers di Istana Wapres di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Jumat (26/9/2008). Saat itu Kalla menyampaikan bahwa di dunia hanya tersisa dua negara yang masih mencoblos, yaitu Indonesia dan Kamerun. Kamerun merupakan salah satu negara miskin dengan angka buta huruf yang masih tinggi. Kalla menambahkan bahwa mencoblos sudah dilakukan di Indonesia sejak 1955. Saat itu angka buta huruf masih 50 persen dan pada 2008 tinggal 7 persen.

Pesan serupa juga disampaikan oleh beberapa pihak yang mendukung metode contreng. Lembaga swadaya masyarakat (LSM) Centre for Electoral Reform (Cetro) mendukung tanda contreng pada surat suara. Direktur Eksekutif Cetro Hadar N Gumay mengungkapkan, tanda contreng sudah banyak digunakan di negara lain. Hanya Indonesia dan Kamerun yang masih menggunakan tanda mencoblos (Kompas,3/10/2008).

Apabila ditarik benang merahnya, mencoblos dipandang sebagai cara yang terbelakang. Meski demikian, untuk konteks situasi pemilu di Indonesia, kecepatan, kesederhanaan, dan hemat biaya masih menjadi faktor perhitungan yang utama. Tantangannya justru terletak pada proses distribusi data hasil penghitungan suara dari TPS hingga ke KPU pusat.

https://cdn-assetd.kompas.id/FaJMlyzA-Y2CtOe8-ATrWJu-Bdc=/1024x849/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F13%2F3d93ef6a-5c4a-4be3-b13e-5c48c3a007ed_png.png

Negara lain

Pemilihan umum di banyak negara menerapkan sistem pemungutan suara yang beragam. Jepang, meskipun merupakan negara maju, menggunakan metode pemilihan dengan surat suara kosong yang terdapat kolom untuk mengisi nama kandidat atau nama partai. Meskipun menimbulkan banyak masalah surat suara tidak sah akibat salah ejaan penulisan nama atau menimbulkan kebingungan karena nama kandidat ada yang sama, metode tersebut masih dipertahankan.

Metode yang terbilang unik dapat ditemukan di Gambia, negara di kawasan Afrika Barat. Sejak tahun 1965, metode pemungutan suaranya menggunakan kelereng kaca yang diberikan kepada para pemilih di tempat pemungutan suara. Kemudian kelereng tersebut dimasukkan ke dalam tong yang dicat dengan warna partai politik dan ditempeli foto wajah kandidat. Pemilih kemudian memasukkan satu butir kelereng ke dalam tong kandidat yang ia pilih.

Baca juga: Lika-liku Pemilu Indonesia dari Masa ke Masa

Tak kalah unik, di Indonesia, meskipun ada prosedur standar nasionalnya, ada praktik pemungutan suara yang berbeda dan diakui oleh negara. Sistem tersebut adalah sistem noken di Papua. Mirip seperti yang dilakukan di Gambia, setiap orang diberi surat suara standar dari KPU, kemudian surat suara dimasukkan ke dalam noken. Noken adalah tas rajut khas Papua yang terbuat dari pilinan serat kayu. Noken biasanya digantung di tempat pemungutan suara. Terdapat beberapa noken sesuai dengan jumlah kandidat yang akan dipilih. Kemudian jumlah surat suara dalam tiap noken dihitung.

Cara memberikan suara saat pemilu memang bisa jadi mencerminkan budaya dan peradaban suatu bangsa. Namun, tidak sedangkal pada canggih atau sederhananya cara memilih. Justru peradaban bangsa ditilik dari sikap setiap individu dalam toleransi dengan yang berbeda pilihan, menghormati dan taat dalam proses pemungutan suara. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Hitung Cepat dan Ikhtiar ”Kompas” Ikut Menjaga Demokrasi

Suasana pencoblosan Pemilu 1987 di sebuah TPS di sekitar Lapangan Hatta, Palembang, Sumatera Selatan.
KOMPAS/WAHAB MANAN

Suasana pencoblosan Pemilu 1987 di sebuah TPS di sekitar Lapangan Hatta, Palembang, Sumatera Selatan.

Editor:
ANDREAS YOGA PRASETYO
Bagikan